SAMIN-NEWS.com, KONON menurut cerita tutur, pada saat Adipati Citrosomo VII berkuasa di Tahun 1855 ada dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa. Mereka naik perahu dari Teluk Jepara pada pagi hari, tapi setelah berlayar beberapa waktu, datang badai sangat besar yang membuat perahu mereka terombang-ambing.
Beruntung Ki Ronggo dan Encik Lanang yang tinggal di sekitar Teluk Jepara mengetahui kejadian tersebut. Keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat itu berhasil diselamatkan dari amukan badai.
Ki Ronggo, masih menurut cerita tutur masyarakat diyakini sebagai salah satu pimpinan pasukan Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri ke Jepara. Hal itu dilakukan setelah Pangeran Diponegoro ditangkap pada Tahun 1830, ia memilih datang ke Jepara karena ia memiliki sejumlah kerabat yang tinggal di kota ini saat Mataram berkuasa.
Sedangkan Encik Lanang konon adalah orang Melayu yang tinggal di Pulau Kelor, atau sekarang dikenal sebagai Pantai Kartini. Ia memperoleh izin dari Pemerintah Hindia untuk menempati pulau tersebut, karena jasanya membantu Belanda pada perang Puputan Jagaraga di Buleleng Bali yang berlangsung Tahun 1848-1849.
Dari peristiwa tersebut kemudian pejabat kadipaten yang hampir tenggelam dan kedua tokoh dari Teluk Jepara dan Pulau Kelor, yaitu Ki Ronggo dan Encik Lanang, mulai membuat sesaji yang dilarung ke laut, serta menggelar pertunjukan wayang sebagai ucapan syukur serta kegembiraan, tentu dengan izin Adipati Jepara Citrosomo VII.
Sesaji tersebut dimaksudkan, agar Hyang Maha Kuasa melindungi para nelayan dari segala malapetaka di laut, dan agar mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah setiap tahunnya. Selanjutnya mereka memilih waktu untuk larungan tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri, dan kuat dugaan larungan kali pertama diadakan setelah Hari Raya Idul Fitri 1303 Hijriyah, saat kedua pejabat tersebut nyaris tenggelam.
Catatan tentang kemeriahan kegiatan yang dilaksanakan tujuh hari setelah Hari raya Idul Fitri tersebut ditulis dalam Jurnal Hindia Belanda Tijschrif voor Nederlandsch-Indie Tahun 1868 dengan judul Het Loemban Feeest Te Jepara (Kegiatan Oada Lomban di Jepara) Tahun 1868.
Berkait dengan catatan sejarah itu diungkapkan oleh DR Alamsyah M Hum, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang dalam Budaya Syawalan atau Lomban Jepara Studi Kompoarasi Akhir Abad ke-19 dan Tahun 2013.
Dalam jurnal Tijdschrifvoor Nederlandsch-Indie juga diungkapkan bahwa pesta lomban itu tidak ada di tempat lain di pesisir Pulau Jawa. Itu berarti pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya pada masa tersebut. Lomban Tahun 1868 juga telah diikuti pengunjung dari Demak, Semarang, Rembang dan Juwana yang datang dengan menaiki perahu.
Sedangkan istilah lomban sendiri mengandung makna saling melempar atau berenang. Dalam istilah lokal, ketika anak-anak saling bersenang-senang saat mandi dan saling menyiram air disebut dengan lumbanan.
Sebelum pesta lomban diselenggarakan, masyarakat telah menghias perahunya dengan indah. Pada lunas depan, belakang dan tiang perahu dihias dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat.
Berikutnya para pemilik perahu menggantungkannya dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang warna-warni. Namun mereka lebih banyak menggunakan warna hijau.
Dalam pesta lomban tersebut ada beberapa orang yang menempatkan hiasan boneka seperti manusia dewasa yang disebut kedawangan di lunas depan perahu. Boneka ini terbuat dari kedobos atau tulang dari daun nibung.
Selain itu perahu juga dihiasi dengan boreh yang berwarna kuning, dan perahu yang ikut lomban juga membawa perlengkapan yang terdiri dari ketupat, telur itik yang telah membusuk dan kolang-kaling. Benda-benda tersebut nantinya digunakan untuk saling melempar. Sementara para perempuan memasak makanan yang diperlukan seperti lauk-pauk dan serbat.
Dalam pesta lomban ini bupati membawa duabekas payung dari bambu yang diberi roda. Sedangkan perahu yang dinaiki dilumuri dengan kapur, dan kadang diberi gambar harimau, naga dan ikan. Selain itu juga membawa gamelan.
Rombongan bupati yang diiring juga para petinggi ini berangkat menyusuri sungai Jepara sampai laut dengan diiringi gending tabuh giro. Perahu nelayan juga banyak yang membawa gamelan.
Setelah sampai di laut, ratusan perahu yang datang dari berbagai penjuru dipenuhi warga itu kemudian beramai-ramai beriringan ke Pulau Panjang. Saat itulah berteriak-teriak dan saling melempar telur, letupat dan kolang-kaling, dan bahkan juga dengan petasan.
Bupati bersama orang-orang Eropa, kaum bangsawan Jawa dan keluarganya duduk di sebuah pendopo yang telah dibuat sebelumnya untuk menyaksikan pesta. Setelah itu pesta dimulai dengan ditandai ribuan telur, kolang-kaling dan ketupat yang dilempar ke udara.
Sementara warga yang hadir kemudian berlarian untuk ikut berebut ketupat dan mencari kolang-kaling. Kegiatan ini juga diwarnai dengan tari-tarian tradisional, dan pesta tersebut berakhir hingga pukul tiga sore dan setelah itu semua rombongan kembali ke daratan Jepara dengan diiringi bunyi gamelan.
(Penulis adalah pegiat budaya Jepara)