SAMIN-NEWS.com, JEPARA – Setelah dua tahun tidak digelar karena pandemi, prosesi budaya Jembul Tulakan kembali dihelat dengan meriah dengan didukung kirab budaya, Senin (20/6-2022). Puluhan ribu warga larut dalam kegembiraan.
Mereka bukan hanya warga desa setempat tetapi juga ada yang berasal dari desa lain dan bahkan luar kota. “Kami ingin terus melestarikan dan mengembangkan tradisi ini hingga menjadi kekuatan ekonomi warga,” ujar Budi Sutrisno, S.Pd. Petinggi Desa Tulakan sebelum prosesi dimulai.
Dukungan agar even budaya itu dapat dikembangkan juga muncul dari Pj Bupati Jepara. “Semua potensi budaya desa harus dikembangkan,” ujar Setyo Adhi Widodo Camat Donorojo yang hadir dan memberikan sambutan mewakili Pj Jepara.
Prosesi Budaya Jembul Tulakan Jembul Tulakan, Kecamatan Donorojo, Jepara dimulai di depan rumah Budi Sutrisno, Petinggi Desa Tulakan.
Sorak sorak ribuan warga yang memadati sepanjang jalan memberikan semangat pada iring-iringan Jembul Krajan yang diiringai gending Prau Layar. Jembul yang tampil pertama ini berasal dari dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang Barata yang kala itu merupakan pusat pemerintahan di kademangan tersebut.
Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek kayu atau patung yang diletakkan dipuncak gunungan. Golek ini menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman, seorang ulama yang ikut menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi.
Iring-iringan Jembul ini menuju panggung utama. Di atas panggung nampak Petingggi, Carik dengan didampingi 4 orang penari tayub. Setelah melakukan atraksi, mereka kemudian memberikan penghormatan kepada Petinggi Budi Sutrisno. Ritual ini juga dilakukan oleh iringgan jembul yang lain.
Berikutnya dengan diiringi gending Marmoyo Ucul tampil Jembul Ngemplak yang meliputi dukuh Ngemplak, Tanggulasi dan Kedondong.
Jembul ini merupakan wujud dari penghargaan Ki Leboh kepala dukuh Ngemplak kepada Ki Barata yang telah mengijinkan membuka perdukuhan Ngemplak dan sekitarnya. Pada gunungan jembul ini juga dipasang sebuah golek kayu atau patung yang menggambarkan Ki Suto Mangunjoyo, pimpinan prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat bertapa di hutan Alas Tuwo yang kini dikenal sebagai pertapaan Sonder.
Sedangkan dengan iringan Gending Sambel Kemangi Jembul Winong menggambarkan penghargaan Ki Buntari kepada Ki Barata yang telah mengijinkan ia merintis Dukuh Winong, Dung Pucung dan Dung Gayam. Pada puncak gunungan jembul ini dipasang golek dari pelepah rumbia atau gabus yang merupakan wujud dari beberapa prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat.
Terakhir adalah Jembul Drojo merupakan penghargaan Ki Purwo kepada Ki Barata atas segala jasanya yang telah mengijinkan ia membuka pendukuhan Drojo. Pada puncak gunungan jembul dipasang golek kayu atau patung yang mengambarkan seorang prajurit pilih tanding bernama Ki Leseh yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa. Penampilan Jembul ini diiring dengan gending Jangkrik Genggong
Setelah semua jembul datang di depan panggung utama, maka ritual berikutnya adalah pertunjukan tari tayub sebagai perlambang peristiwa saat para pimpinan padukuhan waktu menghadap Ratu Kalinyamat saat bertapa. Setelah menyampaikan hulu bekti kemudian dipertujukan tari tayub. Kemudian dilakukan prosesi mencuci kaki petinggi dengan air kembang setaman oleh semua perangkat desa.
Ini merupakan gambaran simbolis penghormatan kepada Ratu Kalinyamat pada masa lalu yang diberikan oleh para pimpinan padukuhan. Namun dalam perkembangannya ritual ini sebagai lambang agar petinggi dalam memimpin desa selalu bersih sikap dan tindakannya. Juga agar masyarakat dijauhkan dari malapetaka dan gangguan. Mereka juga mengharapkan melalui ritual pencucian kaki petinggi tersebut, desa Tulaan bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh pemerintah dan agama.
Kemudian dilanjutkan dengan selamatan sebagai ungkapan syukur dan doa kepada Tuhan agar masyarakat senantiasa hidup dalam ketentraman dan kesejahteraan. Juga ucapan syukur atas segala rejeki yang diberikan disepanjang tahun. Ritual berikutnya setelah itu adalah prosesi mengelilingi jembul sebanyak tiga kali putaran oleh petinggi disertai dengan perangkat desa dan para penari tayub.
Penari tayub ini melambangkan Nyi Roro Kuning, istri Ki Demang Barata yang sudah mendampingi Ki Demang dan mengelola harta kedemangan dengan baik. Ritual ini sebagai lambang bahwa istri petinggi harus bisa menjadi pendamping suami dalam memimpin desa serta perlambang seorang petinggi atau perangkat harus senantiasa berada ditengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan Upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan di desa Tulakan.(hp)