Catatan Kritis KUHP Baru Oleh : Pudjo Rahayu Risan

SAMIN-NEWS.com, Wajar, setiap kebijakan akan menimbulkan pro dan kontra. Tidak mungkin memuaskan semua pihak. Sama halnya dengan KUHP Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022).

Hotman Paris lantang bersuara mengkritisi KUHP terbaru yang bisa berdampak ke sektor pariwisata. Namun Hotman membantah ada kepentingan bisnis di baliknya.

Pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea termasuk pengacara yang aktif mengkritisi disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang di dalamnya memuat pasal-pasal kontroversial yang bisa berdampak pada dunia pariwisata.

Hotman melakukan hal itu bukan karena dia ada kepentingan tertentu. Seperti kita tahu, Hotman merupakan salah satu pemilik dari Beach Club ternama di Bali.

Pendapat berbeda, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna lebih jauh menilai bahwa tradisi liberal seperti kohabitasi tak bisa dipaksakan dibawa ke Indonesia. Sebab hal itu bertentangan dengan budaya dan agama masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menurut Yasonna, pasal Kohabitasi, (hidup bersama bagai suami istri tanpa ikatan perkawinan)n maupun perzinaan dalam KUHP baru tak bakal menyerang privasi seseorang, kecuali ada pengaduan dari keluarga terdekat seperti orang tua, suami atau istri, dan anak.

Dengan syarat aduan itu, Yasonna meyakini pasal kohabitasi di KUHP baru tak akan mengancam para turis maupun orang asing sebab mereka memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

7 Pasal KUHP Baru RI yang Dikritik Keras PBB

Ternyata kehadiran KUHP Baru mematik kritis keras dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia menegur pemerintah RI karena mengesahkan KUHP baru yang disinyalir memuat pasal kontroversial.

Menurut PBB, ada beberapa aturan dalam UU KUHP yang bertentangan dengan kebebasan dan hak asasi manusia. Pertama, ancaman kriminalisasi Pers, dimana beberapa pasal yang berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Catatan kritis tersebut tercantum dalam Paragraf 7 tentang Penyiaran dan Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. Ada dua pasal soal berita bohong, yakni Pasal 263 dan Pasal 264.

Pasal 263 dibagi menjadi dua. Ayat (1) berbunyi, “Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.”

Sementara ayat (2) berbunyi, “Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.”

Lebih lanjut, pada Pasal 264 disebutkan, “Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.”

Dengan demikian, bagi pewarta yang dinilai menyebarkan berita bohong bisa dikenai pidana mulai dua hingga empat tahun penjara. Mereka juga bisa dikenai denda mulai Rp50 hingga Rp500 juta.

Kedua. diskriminasi LGBT. Pasal mengenai perbuatan cabul yang tercantum dalam beleid KUHP baru juga menjadi sorotan PBB. Menurut PBB, pasal itu bisa mengkriminalisasi kelompok seksual minoritas LGBT. Hal itu sendiri diatur dalam Pasal 414. Pasal itu menyebut siapa pun yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang berbeda atau sesama jenis kelamin bisa dipenjara hingga satu tahun atau didenda hingga Rp50 juta. Jika hal itu dipublikasi maka bisa dipenjara hingga sembilan tahun.

Ketiga. hak kesehatan seksual, PBB turut menyoroti pasal yang mengatur soal hak kesehatan seksual atau dalam hal ini aborsi dan kontrasepsi. Dalam RKUHP, perihal aborsi diatur dalam Pasal 463, Pasal 464, dan Pasal 465. Pada Pasal 463, perempuan yang melakukan aborsi bisa dipidana paling lama empat tahun penjara.

Pada Pasal 464, jika aborsi itu dilakukan dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan, maka bisa terancam pidana hingga lima tahun penjara. Apabila tanpa persetujuan, maka bisa dipidana hingga 12 tahun penjara. Kemudian pada Pasal 465 menyasar tenaga kesehatan yang membantu melakukan aborsi. Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu aborsi sebagaimana Pasal 464 bisa ditambah pidananya hingga 1/3. Selain itu, tenaga kesehatan juga bisa dicabut haknya.

Sementara perihal kontrasepsi diatur dalam Pasal 408 dan Pasal 409.
Pada Pasal 408, orang yang melakukan, menawarkan, atau mempromosikan alat kontrasepsi bisa didenda hingga Rp1 juta. Pada Pasal 409, orang yang tanpa hak melakukan seperti yang tercantum dalam Pasal 408 bisa dipenjara hingga 6 bulan atau denda hingga Rp10 juta.

Keempat, hak privasi, aturan soal hak privasi dalam hal ini melakukan seks di luar nikah atau tinggal bersama (kohabitasi) juga disoroti PBB. Hal ini diatur dalam Pasal 411 dan 412 soal Perzinahan. Pada Pasal 411, orang yang melakukan seks dengan yang bukan suami atau istri bisa dipenjara hingga satu tahun atau didenda hingga Rp10 juta.

Sementara pada Pasal 412, orang yang tinggal bersama dengan yang bukan suami atau istrinya bisa dipenjara hingga 6 bulan atau denda hingga Rp10 juta.

Kelima, hak beragama atau berkeyakinan, aturan yang membahas soal agama dan keyakinan juga menjadi sorotan PBB. Menurut PBB, terdapat pasal yang berpotensi melanggar hak memeluk agama atau berkeyakinan dan melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut agama atau kepercayaan minoritas seperti ateis. Sikap negatif itu juga disebut bisa membuat penganut minoritas itu mendapat tindak kekerasan.

Persoalan ini sendiri diatur salah satunya dalam Pasal 302. Pasal 302 menyebut siapapun yang menghasut seseorang agar tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia bisa dipenjara hingga dua tahun atau didenda hingga Rp50 juta.

Kemudian, bila orang tersebut memaksa orang untuk menjadi tidak beragama atau pindah agama, bisa dipidana hingga empat tahun atau didenda hingga Rp200 juta.

Keenam, kebebasan berpendapat dan berekspresi, aturan yang membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi ini antara lain mengenai penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, hingga melakukan demo. Terkait penghinaan terhadap presiden, hal ini diatur dalam Pasal 218. Orang yang menghina presiden seperti menyerang kehormatan atau harkat martabatnya bisa dipenjara hingga tiga tahun atau didenda hingga Rp200 juta.

Mengenai penghinaan terhadap lembaga negara, hal itu diatur dalam Pasal 349. Dalam pasal itu, siapapun yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara bisa dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan. Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati.

Kemudian, soal demo diatur dalam Pasal 256. Dalam pasal tersebut, orang yang melakukan demo tanpa pemberitahuan, bisa dipenjara hingga enam bulan atau didenda hingga Rp10 juta. Hal ini dikritik lantaran pada penerapannya, polisi kerap mempersulit izin demo.

Ketujuh, melarang paham selain Pancasila, Lebih lanjut, ada pula pasal yang melarang ajaran komunis. Larangan itu diatur dalam Pasal 188. Mereka yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme bisa dipenjara hingga empat tahun dan bisa ditambah hingga 15 tahun jika mengakibatkan kerusuhan dan kematian.
Catatan kritis.

Terlepas pro dan kontra terhadap KUHP Baru, pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. Untuk itu, bangsa Indonesia boleh jadi patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain.

Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Seperti kita ketahui, Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963. Apalagi KUHP lama menurut aspek sosiologis hukum dari kacamata Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. Implikasinya, secara filosofis juga tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. (Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik)

Kondisi lalu lintas di Juwana, Selasa (27/12/2022) Previous post Juwana Macet Karena Pembangunan Jembatan
Next post Reformasi Kependudukan, BPS Kudus Gelar FGD

Tinggalkan Balasan

Social profiles