SAMIN-NEWS.com, Dunia politik di Indonesia menuju perhelatan demokrasi pesta rakyat Pemilu 2024, semakin “panas”. Pemicunya silang pendapat antara mengunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka. Delapan Partai Politik (Parpol) yang ada diparlemen secara bulat menghendaki untuk Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka.
Sedangkan PDIP sebagai Parpol satu-satunya yang ada diparlemen menghendaki mengunakan proporsional tertutup. Sudah barang tentu argumentasi yang menjadi landasan bagi kedua belah pihak masuk akal baik yang setuju proporsional tertutup maupun terbuka. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak lebih penonjolkan sisi positif dan menenggelamkan sisi negatifnya. Kita paham betul bahwa kedua sistem tersebut memiliki sisi posptif dan negatif.
Tampaknya PDIP yang setuju proporsioanl tertutup mendapat tambahan amunisi dari Partai Bulan Bintang (PBB) Parpol diluar parlemen. Lewat Ketua Umum, Yusri Iza Mahendra, pada saat hari ulang tahun Partainya, mendukung Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup. Digambarkan bahwa dengan sistem proporsional terbuka, pada kenyataannya menjurus ke politik transaksional. Hal ini dikarenakan terbuka kemungkinan dan secara empiric sudah terjadi, bukan seorang kader partai bisa tiba-tiba secara instan masuk ke parlemen.
Proporsional Tertutup dan Terbuka.
Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem pemilihan umum yang hanya memungkinkan masyarakat memilih partai politiknya saja, bukan calon wakil rakyat secara langsung. Saat pemilu dengan sistem ini, pemilih hanya mencoblos tanda gambar atau lambang partai dalam surat suara karena tidak tersedia daftar kandidat wakil rakyat di surat suara. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan salah satu jenis sistem pemilu proporsional. Pada sistem pemilu proporsional tertutup, kursi wakil rakyat akan diberikan pada para calon berdasarkan nomor urut.
Berbeda dengan sistem pemilu proporsional tertutup, sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem pemilu dengan pemilih dapat mencoblos nama atau foto kandidat langsung yang dicantumkan di surat suara. Pada sistem pemilu proporsional terbuka, partai politik menyediakan daftar kandidat wakil rakyat untuk dimasukkan ke surat suara. Kandidat yang meraih suara terbanyak lalu terpilih sebagai wakil rakyat, tidak mempermasalahkan yang bersangkutan merupakan kader yang berproses di partainya bahkan kualitas sebagai anggota parlemen menjadi tidak diperlukan, yang menjadi indikator adalah memperpoleh suara terbanyak.
Kelebihan dan Kekurangan.
Kelebihan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, mendorong peningkatan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan. Mendorong institusionalisasi partai politik mempermudah penilaian kinerja partai politik. Ditengarai mampu menekan politik uang ke masyarakat dan korupsi politik. Walau belum jaminan, tetapi secara konsep lebih mudah dikembadilakn oleh idup partai politiknya.
Kekurangan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, pengkondisian mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup. Tidak melibatkan publik, pihak eksternal. Jangankan publik, yang bukan pengurus inti saja dimungkinkan tidak dilibatkan. Memunculkan kurangnya partisipasi.
Dampak yang lain, menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik. Disinilah perlunya kedewasaan berpolitik yang di-inisiasi partai politik yang bersangkutan sekaligus sebagai pendidikan politik bagi anggota dan kadernya. Untuk itu, jangan ada nepotisme, walau ini sulit dihindari.
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, berpeluang adanya potensi politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut. Sistem ini juga berpeluang hanya orang-orang dekat dengan elite pengurus yang dimungkinkan memperoleh nomor kecil. Dalam orde baru yang mengunakan sistem proporsional tertutup, dengan istilah nomor ‘kopiah’ atau nomor ‘sepatu’ yang menggambarkan nomor jadi dan nomor penggembira. Karena yng dipilih gambar parpolnya bukan dan tidak ada gambar calonnya, Fenomena inilah menjadikan kurangnya kedekatan calon wakil rakyat dengan pemilih Calon wakil rakyat kurang aspiratif. Pendidikan politik berkurang bagi masyarakat.
Kelebihan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka berpeluang calon lebih dekat pemilih. Mengurangi nepotisme serta meningkatkan sistem perwakilan di DPR.
Kekurangan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka ditengarai berpeluang meningkatnya ongkos politik dan korupsi-kolusi secara sistematis. Fenomena inilah yang kapasitas calon dibawah standar kualifikasi pencalonan sebagai anggota parlemen. Hal ini berpeluang kurangnya peran dan gagasan partai politik.
Fungsi Partai Politik.
Persoalan Partai Politik yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Kualitas Parpol dewasa ini yang salah satu ketika polemik digunakannya sistem proporsional terbuka atau tertutup. Seandainya fungsi Parpol sudah ideal, tidak ada masalah ketika ada pilihan antara tertutup dan terbuka. Maka dari itu, PDIP satu-satunya Parpol yang memberi pernyataan tidak masalah ketika mengunakan sistem terbuka atau tertutup.
Idealnya, fungsi partai politik terhadap negara dengan berkontribusi, antara lain menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman.
Fenomena rata-rata Parpol pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Tidak salah apabila bermunculan politisi yang pragmatis. Maka pilihan yang paling menarik adalah dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak. Gejala ini sepertinya bisa bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Hal ini bisa berdampak saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Pengalaman empirik, telah menimbulkan individualistik para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. “Menjatuhkan” teman se-partai sangat terbuka sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam memperoleh suara terbanyak dalam pemilu.
Sebagai penutup, walau rivalitas terjadi antarpartai politik di arena pemilu, bisa jadi “perang” orang perorang. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Dimana peserta pemilu adalah partai politik bukan individu.
(Drs. Pudjo Rahayu Risan, Pengamat Kebijakan Publik dari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang)