Para Pedagang Kaki Lima (PKL) di pinggir ruas Jl Dr Wahidin dan Dr Sutomo dalam Kota Pati saat mengikuti sosialisasi Peraturan Bupati (Perbup) Pati No:11 Tahun 2019 di lantai dua aula Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) kabupaten setempat, Jumat (15/3) hari ini.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM DI balik munculnya kelompok Pedagang Kaki Lima (PKL) ”mbogel” yang menyoal relokasi, ternyata masih banyak yang patuh atas kedasaran bahwa selama ini dalam mencari sumber penghidupan bukan di atas lahan maupun tempat milik pribadi. Karena itu, sadar benar akan kepatuhan dalam menyikapi hal-hal yang dianggap krusial dan merugikan tetap harus menjadi pilihan.
Itulah gambaran sikap kelompok PKL ”nurut” yang selama ini juga berjualan di pinggir ruas Jl Dr Sutomo dan Jl Dr Wahidin cuikup kooperatif, tanpa banyak mengumpat dan menghujat secara vulgar. Kendati tempat mereka berjualan yang semula zona hijau, dan kini berubah menjadi zona merah hal itu ternyata tidak menjadi beban dalam menyikapi relokasi.
Apalagi, niat pemerintah dalam menata para PKL juga tidak hanya asal-asalan sampai lahan yang dipandang paling tepat untuk keperluan tersebut harus didapat dengan cara sewa, tapi bagi kelompok PKL ”mbogel” hal tersebut dianggap mensengsarakan mereka. Sebab, selama 20 tahun dininabobokan oleh keberhasilan dalam ”menumpuk” materi, sehingga secara sepihak mentasbihkannya sebagai bagian dari warisan.
Akan tetapi, mereka tidak mempunyai keberanian untuk membuktikan kecongkaan sikapnya, dan tetap ”bermimpi” bisa menguasai ruang publik itu sampai mati. Sebab, ternyata mereka juga mengekploitir kesombongannya, tapi di balik semua itu ujung-ujungnya agar disediakan tempat berjualan melebihi dari batas kewajaran.
Dengan kata lain, kelompok ”mbogel” ini justru minta bagian tempat lebih banyak agar setiap saat bisa ”dijual,” Karena itu dalam menyikapi kelompok PKL oportunis tersebut, siapa pun penentu kebijakan tidak perlu ada kompromi, biar sadar bahwa hidup di tengah-tengah masyarakat itu kepatuhan atas hak dan kewajiban harus berjalan seiring.
Hal itu berarti kelompok siapa pun tidak bisa hanya mengedapankan haknya, karena hal atas fasilitas publik bukanlah bagian dari warisan. Sedangkan di sisi lain, untuk sekadar patuh dan menghargai hak orang lain, pemerintah maupun dalam skala yang lebih besar, adalah negara sama sekali tidak dimiliki oleh kelompok ”mbogel” ini.
Karena itu, sekecil apa pun peran kelompok PKL Jl Dr Sutomo dan Jl Dr Wahidin yang cukup kooperatif, adalah lebih berharga ketimbang ”mbogel” tersebut. Apakagi, jika melihat keseriusan pemerintah kabupaten setempat, untuk menjadi para PKL lebih bermartabat tentu tidak hanya sebuah retorika, melainkan akan dibuktikan secara nyata.
Jika dalam penataan PKL ini untuk lokasi dinilai masih kurang, pemkab tentu tidak akan berhenti sampai di sini. Yakni, pembenahan dan upaya agar tempat relokasi ini benar-benar ramai oleh pengunjung, hal itu sangatlah menjanjikan, dan jika perlu untuk membuktikan maksud baik pemkab maka lokasi tersebut harus benar-benar dibuat sebagai tumpuan hidup para PKL dengan segala konsekuensinya.
Konsep-konsep untuk implementasinya tentang hal itu sudah dipatok secara jelas dan tegas, yaitu PKL dibebaskan berjualan selama 24 jam, tiga bulan pertama tidak dipungut retribusi, dan upaya pemerintahan lokasi yang sekarang menjadi Pusat Kuliner Pati dengan berbagai hiburan untuk menarik pengunjung. Prinsipnya lokasi itu harus benar-benar diciptakan sebagai ruang publik yang menjanjikan masyarakat,untuk meningkat pendapatannya bagi para PKL, dan masyarakat lain juga bisa menikmati hak-hak publiknya.(Ki Samin)