Sirip ekor bagian atas replika ikan bandeng di taman Ujung Barat Jalur Lingkar Selatan (JLS) Pati yang beberapa jam lalu ”ditekuk” terpaan angin kencang sehingga kondisinya berubah tidak simetris lagi dengan sirip ekor bawah.(Foto:SN/dok-agung w-aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Sepenggal kalimat paling tepat untuk menyikapi hal-hal yang terjadi di luar perkiraan perhitungan dan logika, hanyalah ”apa mau dikata.” Masalahnya hal itu menyangkut perhitungan konstruksi sebuah replika untuk ikan yang selain mempunyai bagian kepala, adalah badan, dan sirip ekor.
Tak jauh berbeda dengan replika seekor ikan bandeng di Taman Bandeng yang berlokasi di ujung barat Jalur Lingkar Selatan (JLS) Pati, atau tepatnya di Desa Sokokulon, Kecamatan Margorejo, Pati. Jika melihat konstruksi replika dari konstruksi baja ringan, menurut perhitungan secara teknis seharusnya sudah diperhitungkan kemampuannya ketika harus menghadapi terpaan angin dalam posisi ketinggian tertentu.
Akan tetapi, apa yang teradi pada konstruksi sirip ekor bagian atas replika tersebut yang beberapa jam lalu diterpa tiupan angin kencang yang disertai turunnya hujan deras. Hal tersebut menyebabkan bagian replika itu masih bisa ”ditekuk” oleh terpaan angin kencang, sehingga kondisinya sekarang ini tidak semetris lagi dengan sirip ekor bagian bawah.
Berdasarkan catatan ”Samin News” (SN), replika ikan bandeng yang oleh pemerintah kabupaten (pemkab) setempat dimaksudkan bisa menjadi ikon bahwa Pati adalah sentra penghasil ikan tersebut, lengkap dengan tamannya baru selesai dibangun akhir Desember lalu. Sedangkan peresmiannya belum genap dua bulan dilakukan oleh Bupati Haryanto bersama peresmian 550 paket proyek lainnya Tahun 2018 Kabupaten Pati.
Karena itu yang menjadi pertanyaan, jika konstruksi replika tersebut sudah diperhitungan dalam perencanaannya, berarti ada yang perlu diteliti ulang. Maksudnya, yang salah adalah perencanaannya atau justru di tingkat pelaksanaannya, sehingga perlu ada kajian ulang oleh ahli-ahli konstruksi yang bisa dipertanggungjawabkan kinerjanya.
Jika kali ini terpaan angin kencang bisa ”menekuk” sirip ekor bagian atas, pada kesempatan lain bisa ganti ”menekuk” bagian konstruksi lainnya, baik itu bagian badan maupun kepala. Sehingga kajian ulang perhitungan teknis tersebut mutlak dilakukan, agar masing-masing pihak terkait tidak saling melempar kesalahan.
Apalagi, replika ikan bandeng lengkap dengan fasilitas tamannya berada di lolasi ruang publik, sehingga publik berhak mengetahui sejauh mana kemampuan perencana maupun pelaksana pekerjaan dalam memperetanggungjawabkan kinerjanya. Lebih-lebih, untuk menyediakan fasilitas di ruang publik tersebut harus menggelontorkan biaya milyaran rupiah.
Sesuai ketentuan, sampai saat ini status hasil pekerjaan fasilitas publik tersebut masih dalam masa pemeliharaan oleh rekanan pemenang tender proyek yang bersangkutan. Akan tetapi, bagaimana jika suatu saat konstruksi replika ikan bandeng itu kembali ”ditekuk” lagi tidak hanya oleh terpaan angin tapi juga oleh sambaran petir saat turun hujan.
Sudah barang tentu pihak-pihak terkait tidak bisa berkilah, bahwa faktor penyebabnya karena bencana alam. Jika yang digunakan mencari pembenaran karena faktor tersebut, seharusnya hukum harus turun tangan untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya, agar publik tidak diliputi tanda tanya, atau pembenaran ”apa mau dikata.”(sn)