Punya Rasa Malu Tetap Dibutuhkan Siapa Saja

Pemilik bangunan tempat usaha yang memanfaatkan fasilitas lahan milik pemerintah di lingkungan Pusat Jajan Pati, karena pemiliknya merasa masih punya malu, bangunan miliknya pun dibongkar sendiri.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  DALAM pergaulan strata sosial apa pun, setiap sosok pribadi maupun kelompok masing-masing pasti mempunyai kadar rasa malu yang terukur. Utamanya, adalah rasa malu terhadap diri sendiri maupun kelompoknya, karena sikap maupun perilakunya sudah keluar jauh dari rel tatanan bermasyarakat.
Hal itu bisa kita lihat dari cermin sikap tiga warga yang selama ini memanfaatkan lahan milik pemerintah di sudut barut laut GOR Pati maupun sudut timur laut lokasi Pusat Kuliner Pati, di bekas Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Perhutani KPH setempat, untuk membuka kegiatan usaha. Yakni, yang satu seorang melakukan pemprosesan air isi ulang, satunya lagi membuka layanan pembuatan maupun perbaikan jok, baik untuk kursi rumah tangga maupun kursi kendaraan.
Sedangkan satunya lagi dengan mendirikan bangunan, bahkan terhitung permanen karena menggunakan kerangka atap dari konstruksi baja ringan, untuk membuka usaha sebuah studio. Sehingga semua kegiatan tersebut benar-benar membutuhkan modal yang tidak cukup hanya satu atau dua juta rupiah.
Karena ketiganya masih mempunyai rasa malu, karena memanfaatkan lokasi lahan yang menjadi milik pemerintah, maka dengan penuh kesadaran sendiri mereka harus membongkar bangunan miliknya dan memindahkan kegiatan usahanya. Sebab, pemerntah yang selama ini telah hermurah hati memberikan tempat untuk mencari sumber penghidupan, memang benar-benar membutuhkan.
Apalagi, mereka juga benar-benar menyadari bahwa memanfaatkan apa pun yang bukan milik pribadi, dan lebih-lebih sampai merugikan pihak lain jika sampai tidak mempunyai rasa malu, maka hal itu sama saja ”tidak mempunyai harga diri.” Kendati itu menyangkut urusan perut, tapi kalau harus mengorbankan harga diri, siapa pun yang merasa masih mempunyai rasa malu tentu tidak akan sampai hati melakukan hal itu. 
Meningat harga diri itu lebih berharga, ketimbang harus menguasai lahan tempat kegiatan usaha yang jelas-jelas bukan hak milik pribadi akhirnya sikap yang sangat terpuji adalah memilih untuk kooperatif. Tidak ngotot, tanpa dasar, asal ”waton sulaya” hanya karena merasa ada pahlawan kesiangan yang siap untuk membela kepentingannya.
Ujung-ujungnya, adalah seperti biasa sebagaimana dilakukan kelompok-kelompok kecil sejak era reformasi hingga sekarang ini. Apalagi jika tidak menghujat, menista, dan merasa diri paling benar kemudian menuntut urusan sesuatu tentang hak,tapi bukan mutlak itu haknya dengan berunjuk rasa serta penekanan pada akhir  kalimat, yaitu ‘‘pokoknya.” 

Ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh mereka bertiga, sehingga dengan sikap yang kooperatif tersebut justru melahirkan hal cukup simpati dari pihak berkompeten. Sehingga pemilik usaha pemproses air isi ulang pun dipersilakan memilih tempat, untuk mendirikan lagi tempat kegiatan usahanya di dalam lingkungan Pusat Kuliner Pati, itu pun atas biaya sendiri.
Hal sama tentu akan diikuti dua lainnya, meskipun hal tersebut bukan kegiatan jenis usaha kuliner tapi bisa saja mereka memanfaatkan kesempatan itu, untuk membuka kegiatan usaha sesuai lokasi peruntukannya. Maksudnya, mereka bisa saja mencoba peruntungan melalui kegiatan usaha berjualan karena terbuka peluang dengan memanfaatkan kesempatan dari sikap kooperatifnya.
Sebab, rasa malu itu lebih penting demi tetap terjaganya harga diri ketimbang memeprtahankan sesuatu dengan cara-ara tidak terhormat. Apalagi, jika tidak menguasai sesuatu yang bukan haknya sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain, hanya karena merasa sebagai individu maupun kelompok pemberani.(Ki Samin)

Previous post Ka TU Kesbangpol Diduga Keras ”Minum” Bahan Bakar Kendaraan Dinas
Next post Mulai Muncul Selisih Paham di Kalangan PKL Relokasi

Tinggalkan Balasan

Social profiles