Alman Eko Darmo (Foto:SN/dok-aed)
SAMIN-NEWS.COM HANYA karena dibutakan urusan isi perut di antara sekian banyak manusia tidak bisa memahami dirinya sendiri, sehingga mereka pun gagal untuk bisa memahami orang lain. Akibatnya gagal paham menjadi bagian yang didewakan oleh nafsunya untuk pemenuhan syahwat keserakahan, ketamakan, dan kesombongan.
Dengan demikian, jika untuk memahami dirinya sendiri saja gagal apalagi untuk bisa memahami orang lain, utamanya adalah hak-haknya. Padahal yang menyangkut hak itu jelas ada hak privat dan hak publik, sehingga secara kasuistis bisa sebagai acuan adalah banyaknya manusia yang gagal paham tentang hak-hak tersebut.
Karena itu, manusia dengan predikat gagal paham ini sudah barang tentu juga merasa berhak atas ”kematian” orang lain dalam upaya mempertahankan hak-hak publik yang dianggap sebagai hak privat karena kebodohan dan kedunguan serta kebutaannya. Sehingga untuk memahami apa maksud hak dan fasilitas publik harus diberi garis kuning, di antaranya contoh yang paling gampang sebagaimana garis kuning di atas trotoar.
Sedangkan garis kuning tersebut sebagai bentuk tanda hak publik, untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus saat berada di ruang publik, yaitu penyandang tuna netra saat harus berjalan. Akan tetapi oleh orang-orang yang gagal paham, trotoar tersebut justru dimanfaatkan untuk memenuhi urusan kebutuhan isi perutnya.
Apalagi jika tidak untuk berjualan, karena memposisikan bahwa mereka sudah menempati lokasi itu cukup lama. Karena sebagai manusia yang gagal paham, jangankan tahu berterima kasih tapi yang ditampilkan justru kesombongan yang menganggap trotoar tersebut sebagai hak privat warisan nenek moyangnya.
Jika bicara lebih jauh kondisi itu sebagaimana yang menjadi warna di Pati, adalah bertahun-tahun orang-orang yang hanya mendewakan kepentingan urusan isi perut sendiri diberikan kesempatan memanfaatkan ruang publik Alun-alun Simpanglima untuk berjualan, jangankan mempunyai rasa terima kasih, justru yang dianggap mengganggu kepentingan isi perutnya adalah sebagai ”musuh.” Sebab mereka dibutakan anggapan, bahwa ruang publik tersebut adalah warisan nenek moyang.
Dengan kata lain, mereka ini sama sekali tidak bisa memahami antara hak privat dan hak publik sehingga sama saja hanya mengejar upaya pemenuhuan syahwat keserakahannya. Orang-orang model ini seharusnya sesekali merasa dirinya sebagai bagian dari publik, sehingga tidak memaksa orang lain untuk merasakan sebagai bagian dari mereka.
Karena itu, kini tiba saatnya publik yang sadar paham atas hak publik tersebut menggugat orang-orang yang gagal paham ini untuk memgembalikan ruang publik tersebut kepada penangung jawab dan pengatur hak-hak publik dimaksud. Sebab, dengan dalih dan dasar hukum apa pun orang-orang yang gagal paham ini sudah tiba saatnya untuk diberikan pelajaran, agar tahu cara menghargai apa hak publik itu.(Ki Samin)