Inilah suasana kehidupan malam di Alun-alun Simpanglima Pati oleh kalangan masyarakat strata menengah ke bawah yang sudah menjadi ikon daerah sebagai ruang publik yang ramah (Foto:SN/aed).
SAMIN-NEWS.COM SEJARAH peradaban dari masa ke masa dalam tata pemerintahan di republik ini penyediaan sarana dan prasarana berupa ruang publik, apa pun namanya sudah menjadi tuntutan kebutuhan. Di ruang terbuka itulah menjadi pusat bertemunya berbagai kepentingan kalangan masyarakat strata menengah ke bawah.
Bahkan pada masa berkembangnya sistem tata pemerintahan kerajaan khususnya di Jawa, maka ruang publik yang bernama alun-alun menjadi pusat penyampaian kebijakan kepada para kawulanya oleh punggawa kerajaan. Tidak hanya itu, alun-alun juga menjadi pusat berlangsungnya penentuan hukum atas titah sang raja yang berkuasa.
Karena itu pada masa kuasaan pemerintahan Karajaan Islam di Tanah Jawa yang dimulai dari Demak, maka fasilitas yang tersedia selain masjid agung adalah lapangan tetbuka, kemudian penjara. Dengan demikian, ketika raja yang juga sebagai pengadil menetapkan putusan hukum atas para kawulanya, langsung tinggal membawa kawula yang bersangkutan masuk ke bui.
Kemudian pada masa kolonial, di mana para Adipati atau Bupati yang bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial, di kawasan lingkungan tersebut dibangun pusat pemerintahan. Salah satu di antaranya adalah Kadipaten/Kabupaten Pati yang masih ada hingga sekarang, dan bahkan dalam kurun waktu hampir seperempat abad menjadi ruang terbuka bagi warganya.
Dengan demikian, hukum alam ibarat pepatah ”ada gula ada semut” pun tak terhindarkan, muncullah transaksi pasar antara pembeli dan penjual sebagaimana yang tampak kian marak hingga sekaramg. Yaitu transaksi antara pedagang kaki lima (PKL) dan pengunjung yang memanfaatkan ruang publik itu untuk mempertemukan berbagai kepentingan, khususnya masyarakat kalangan strata menengah ke bawah.
Ruang terbuka alun-alun inilah yang justru menjadikan ikon Pati, karena denyut kehidupan malam antara warganya, baik yang menjadi penyedia jasa kebutuhan kuliner maupun pengunjung yang saling mempertemukan kepentingan masing-masing. Akhirnya, ruang terbuka ini pun menjadi ”pasar” yang secara alami tak bisa ditolak kehadirannya.
Di ruang terbuka ini pula, denyut pusat tumbuhnya perekoomian masyarakat berlangsung mulai sore hingga dini hari, dan pagi hari kembali sebagai fasilitas publik yang menjadi bagian dari pelaksanaan tata pemerintahan. Kendati secara realitas pada jam-jam sibuk ini masih ada pula yang memanfaatkan untuk berjualan oleh warga yang mencari sumber kehidupan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Hal itu tak beda jauh dengan mereka para PKL yang dijadwalkan jam berjualannya mulai sore hingga dini hari, dan secara realitas memang mampu menjadi penggerak dinamika salah satu ekonomi kerakyatan di Pati. Sebab, hal sama juga diikuti oleh para PKL yang memanfaatkan ruang publik seperti di sepanjang pinggir jalan raya, utamanya dalam kota.
Akan tetapi, sebelum matahari terbit seperti kelelawar yang sudah kembali ke sarang peraduan masing-masing. Hal itu justru menjadikan daerah lain melakukan kajian, untuk bisa meniru meramaikan denyut kehidupan malam khususnya para penjaja kuliner, sehingga menjadi salah satu indikator penurunnya angka pengangguran serta meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat.
Oleh karena itu, Pati di bawah kepemimpinan Bupati Haryanto, banyak mencapai keberhasilan dan mampu menyediakan ruang publik yang komprehensif sebagai tempat mempertemukan kepntingan warganya. Sehingga taman-taman kota pun disediakan, karena itulah sifat-sifat kebijakan pemerintahan yang ”njawani.”(Ki Samin)