Karena itu, sebeum anak cucu, cicit, dan buyut kita mengalami hal tersebut atas warisan kesalahan yang kita tinggalkan, maka satu-satunya alternatif terbaik dan lebih terhomat adalah melepas angka Tahun 1323. Sebab, tahun tersebut menjadi titik pijak Tim Hari Jadi Pati (THJP) 1994 dalam menetapkan Hari Jadi Pati pada tahun tesebut.
Melepas angka tahun itu, bukanlah hal yang luar biasa ketimbang mempertahankan tapi kita, warga Pati ini menjadi bahan tertawaan karena punya sejarah hari jadi saja referensi yang digunakan sebagai rujukan, semua asal comot dan benar-benar abrakan. Salah satu contoh, yang menjadi dasar penetahan angka tahun itu adalah Prasasti Tuhanaru pada masa Kerajaan Majapahit di bawah kekasaan Raja Jayanegara (1309-1328).
Selebihnya ada pula cerita Babad Pati, dan sudah barang tentu referensi lain hasil kinerja THJP yang harus ”kebut-kebutan” karena oleh penguasa Pati waktu itu, Bupati Sunardji, memberinya batas waktu selama tiga buan. Sehingga dalam waktu yangrelatif singkat untuk menelusuri sejarah asal-usul Pati, dan kapan berdirinya, benar-benar suatu hal yang luar biasa.
Kendati dalam waktu tiga bulan penyusunan asal-usul dan latarbelakang berdirinya Pati bisa diselesaikan tim, serta ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Prda) Kabupaten Pati No:2 Tahun 1994, tertanggal 31 Mei 1994, tapi dampak yang muncul di kelak kemudian hari adalah polemik berkepanjangan hingga sekarang. Jika hal itu terus menerus terjadi pembiaran, hal itu adalah bentuk kebodohan lain karena sama saja menebar kebohongan sejarah kepada generasi sekarang, dan berikutnya.
Mengingat hal tersebut, maka kelompok-kelompok kecil yang tetap mempunyai kepedulian terhadap kesejarahan di Pati, sama sekali tidak bermaksud menyoal Pati mempunyai sejarah hari jadi atau tidak. Akan tetapi jika punya, maka yang dikehendaki mereka adalah rujukan narasumber maupun materinya benar-benar tidak mengada-ada, melainkan harus berdasarkan fakta sejarah itu sendiri.
Maksudnya, silakan hari jadi ditetapkan tapi acuan dan latar belakangnya menggunakan dasar Prasasti Tuhanaru untuk penetapan angka tahunnya. Sebab, prasasti tersebut sama sekali tidak memuat catatan penting tentang keterkaitan Pati, tapi oleh THJP justru ”ditempel-tempel” kan yang tujuannya tak lain, agar didapatkan angka Tahun 1323.
Akibat keterpaksaan dan ketergesa-gesaan dalam mengurai kesejarahan Pati, kini menimbulkan dampak penolakan terhadap atas kebenaran fakta sejarah tersebut. Sebab, isi dari prasasti dari lempengan tembaga bertuliskan aksara kuna itu sudah dibaca oleh para ahlinya (epigraf), salah satu di antaranya adalah tentang Penetapan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra.
Sedangkan yang menyebutkan bahwa para Adipati di daerah pesisir timur pernah ”sumewa” ke Majapahit, itu hanya terdapat dalam Babad Pati terbitan Balai Pustaka. Akan tetapi sama sekali tidak ada tertulis nama Tombronegoro kecuali dalam Babad Pati Lokal (pupuh 646, halaman 113) dan Buku Pakem jilid II, Sejarah Pati, Djoewana, lan Rembang (halaman 130).
Diceritakan dalam Babad Pati Lokal tersebut, bahwa Tombronegoro Adipati Pati hadir dalam pertemuan di Majapahit pada masa Brawijaya II bernama Jaka Pekik, putra Jaka Suruh. Padahal dalam sejarah Majapahit menurut Arkeolog, Gunawan mempunyai raja sampai 17 raja, dan jika Brawijaya itu disebutkan ada lima, berarti ada 12 raja yang di luar sebutan Brawijaya.
Akan tetapi, dari 12 raja non-Brawijaya tersebut tidak ada satu pun yang bernama Jaka Pekik, sehingga kalau Jaka Pekik, putra Jaka Suruh adalah Brawijaya II, apakan masa pemerintahannya berlangsung pada 1309-1328. Padahal masa atau tahun itu, adalah masa pemerintahan Raja Jayanegara yang ditulikan pada Prasasti Tuhanaru, di mana prasasti tersebut adalah berlangsungnya pisowanan agaunguntuk menetapkan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan kembali sebagai Daerah swatantra.
Pertanyaannya, di mana letak kebenaran penggunaan referensi prasasti tersebut sebagai rujukan bahwa Adipati dari Pati Tombronegoro pernah hadir dalam pisowanan pada Tahun 1323 yang tak lain adalah masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Jayanegara. Benar-benar sebuah kebohongan sejarah yang bertahun-tahun disuguhkan, hanya untuk membodohi anak cucu kita.
Misalnya, THJP yang sebagian besar sudah almarhum hendak mengajukan pembelaan atau pembenaran atas kerja penyusunan sejarah Hari Jadi Pati, harus melalui mediasi lewat media metafisika. Sudah barang tentu kita warga Pati akan semakin menjadi bahan tertawaan, atau ada pihak yang bersedia mewakili dengan berargumen, bahwa Raja Jayanegara adalah Brawijaya II, berarti Brawijaya I adalah Raden Wijaya. yang tak lain adalah pendiri kerajaan tersebut.
Hanya karena dalam Prasasti Tuhanaru pejabat kerajaan yang hadir dalam pisowanan itu terdapat dua dari 24 orang yang mempunyai gelar ”Pati”, yaitu Sang Wredhamantri Sang Arrya Patipati Pu Kapat dan Sang Arrya Jayapati Pu Pamor, kemudian THJP dengan gampangnya menyimpulkan bahwa itu adalah dua pejabat dari Pati. Sehingga dengan mudahnya pun mencantumkan angka Tahun 1232 sebagai tahun berdirinya Pati.
Oleh karena itu, kita warga Pati hanystata mempunyai satu alternatif untuk memilih, yaitu melepas angka Tahun 1323 sebagai tahun berdirinya Kadipaten Pati, dimulai dengan pemindahan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan hingga sekarang. Dengan demikian, kita juga akan terlepas dari status yang merendahkan diri sendiri karena telah menggunakan Prasasti Tuhanaru untuk pembenaran sebuah kebohongan sejarah.
Untuk keperluan itu, tentu bukan hal mudah dan menuntut adanya kemauan politik semua pihak terkait. Akan tetapi harga mahal yang harus kita bayar tersebut, kita sebagai warga Pati dan para anak cucu kita tidak akan kehilangan harga diri ketimbang bangga dengan mempertahankan angka Tahun 1323 hanya karena acuannya Prasasti Tuhanaru.(Ki Samin)