Referensi Rujukan Hari Jadi Pati asal Comot

Antara narasumber seorang arkeolog, Gunawan dan pemerhati Sejarah Pati, Joko Wahyono, saling mencermati referensi rujukan kesejarahan yang disusun Tim Hari Jadi Pati (THJP) Tahun 1994, di Pendapa Kemiri, sejak Rabu (5/12) sore lalu hingga Kamis (6/12) dinihari tadi.(Foto:SN/aed)

SAMIN-NEWS.COM  PATI – Ada kalangan berpendapat bahwa sejarah itu masa lalu yang menjadi bahan perdebatan oleh orang-orang masa sekarang. Pendapat tersebut tentu tidak salah, karena kondisi sekarang banyak pula kalangan orang-orang mapan yang sudah lupa akan sejarah asal-usul maupun para leluhurnya.
Pemasabodohan itu terjadi, karena peradaban masa lalu itu dianggap tidak mempunyai nilai historis apa pun, karena merasa sudah berkecukupan dan berkedudukan. Sehingga sudut pandangnya pun terlalu sempit, karena menganggap peradaban masa lalu itu sudah lewat, dan harus dikesampingkan karena menatap jauh ke masa depan  dianggap lebih penting ketimbang menghabiskan waktu untuk perdebatan atas hal-hal yang dianggap tidak ada ujung dan pangkalnya.
Namun bagi kalangan pemerhati, justru berbalik 360 drajat ketika melihat masalah kesejarahan ini carut-marut, penuh kebohongan dan pembodohan  yang masih dan terstruktural maka yang muncul pada diri masing-masing adalah kegelisahan. Sebab, hal itu sama saja meracuni generasi masa sekarang dan yang akan datang.
Dalam konteks ini,  tersurat dan tersirat pula dalam kesejarahan di Pati yang pemunculannya justru berlatar belakang untuk tercapainya suatu tujuan. Yakni, sebagai syarat (waktu itu) untuk meraih penghargaan Adipura, dan lebih parah lagi penyusunan sejarah tentang hari jadi ini oleh penguasa pada masa itu memberikan waktu kepada THJP hanya selama tiga bulan.
Akibatnya, ketika hal tersebut sejak itu hingga sekarang dicermati dan dikaji kalangan pemerhati banyak ditemukan, dan bahkan hampir sebagian besar referensi yang dijadikan rujukan adalah asal comot. Hal itu terlihat dari penggunaan data nama Adipati Pati, dalam Babad Pati maupun cerita tutur tinular antara Tombronegoro dan Tondonegoro adalah dua sosok tokoh yang tidak tertutup kemungkinan sama, tapi disebutkan berbeda.
Padahal masalah tersebut sisi untuk mengkaji seharusnya mengunakan ungkapan yang tertulis antara Tombro dan Tondo yang konotasinya hampir sama. Sehingga jika yang digunakan dasar adalah Babad Pati, tidak satu pun penyebutan nama Adipati Tombronegoro, sehingga dari masalah nama keduanya sudah jelas bahwa THJP hanya ingin mudahnya.
Untuk penelusian sejarah dengan referensi dan narasumber dari cerita tutur atau flokkor, serta prasasti yang ada itu sah-sah saja. ”Sebab, untuk referensi rujukan yang digunakan sejarawan jika prasasti menjadi sumber utama, adalah prasasti tinular,”kata Arkeolog, Gunawan yang juga seorang Epigraf  (pembaca aksara kuna) .
Hadirnya yang bersangkutan di Pati selain memenuhi undangan Forum Wartawan Pati (FWP) yang mengadendakan menurut kembali Sejarah Hari Jadi Pati juga mempertemukannya dengan pihak Yayasan Arga Kencana. Sebab, yayasan inilah yang sejak lama membuat catatan-catatan penting berkait dengan kesejarahan di Pati, termasuk di antaranya adalah penetapan angka Tahun 1323 sebagai Tahun berdirinya Pati.
Setelah referensi yang dijadikan acuan maupun rujukan THJP satu per satu dicermati dan dikaji ulang oleh narasumber yang bersangkutan, dan personel dari yayasan dan FWP sebagai pembanding, ternyata tidak ditemukan adanya fakta kebenaran. Dengan demikian, harapan bahwa kesejarahan di Pati ini biar tampak ”hitam-putih”  atau apa adanya, ternyata masih jauh panggang dari api.
Dari penyebutan dan pencantuman acuan referensi tentang Prasasti Gajian yang konon ditemukan di Gunungwungkal, oleh THJP disebutkan berhuruf palawa yang disebut-sebut peninggalan Raja Erlangga, dipatahkan oleh Gunawan. Sebab, masa Raja Erlangga itu tidak pernah meninggalkan prasasti atau tulisan apa pun dengan huruf palawa.
Demikian pula, dalam penyebutan surya sengkala Hari Jadi Pati adalah ”Kridane Panembah Gebyaring Bumi” . Dari penyebutan awal ”Krida” itu arti maupun maksud harfiahnya adalah ”obah”  dalam candra sengkala maupun surya sengkala itu sebutannya adalah angka 6, tapi rujukan referensi yang digunakan adalah untuk penyebutan angka 3.
Akan tetapi narasumber cukup kooperatif, karena tidak ingin mengupas masalah itu lebih jauh karena materi diskusi sejak awal sudah dikemas dalam batasan. Yakni, tentang referensi rujukan penentuan angka tahun Hari Jadi Pati oleh THJP, adalah Prasasti Tuhanaru yang sejak 1911 sudah tersimpan di Museum Naional, Jakarta hingga sekarang.
Dugaan kuat beberapa pembanding, yaitu bahwa THJP sengaja mencomotkan angka 3 sebgai referensi ditemukannya angka tersebut dalam tahun masehi  1323. Yakni, tahun di mana Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Raja Jayanegara disebut-sebut pernah hadirnya dua orang, masing-masing Mapanji Pati-pati Pukapat dan Mapanji Jayapati Pu Pamor, adalah dari Pati dalam pisowanan agung pada tahun tersebut.
Akan tetapi pencatatan/pembuatan  pada prasasti itu bukan tertera angka 1323 bertanggal 7 Agustus melainkan 1323 bertanggal 13 Desember. Lagi pula tentang Prasasti Tuhanaru itu berulang-ulang ditegaskan oleh narasumber  bahwa ”patipati” itu bukanlah nama daerah Pati, dan apalagi THJP juga menyebutkan bahwa hadirnya dua orang dari Pati dalam pisowanan itu Raja Jayanegara memberikan status Pati sebagai bumi Perdikan.
Prasasti Tuhanaru itu, isi pokoknya adalah Penetapan kembali  desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra oleh Raja Jayanegara atas permohonan  Dyah Makaradhwaja. Bukan penetapan Pati sebagai daerah Perdikan.
Mendengar penjelasan ahli yang berulan-ulang, maka beberapa peserta diskusi yang hadir terutama anggota FWP pun berkomentar ”saur manuk.” . ”Iki piye leh, Sejarah Pati kok thukoyo” (angger gathuk ya ayo).” ( Ki Samin)
Previous post Paripurna Internal Perubahan Alat Kelengkapan DPRD
Next post Komisi B DPRD Pati ke Bantul dan Yogya Soal Toko Modern

Tinggalkan Balasan

Social profiles