Satu dari tiga anggota Komisi D DPRD Pati, Endah Sri Wahyuningati malam ini siap berperan sebagai Nyai Jiwonolo di panggung ketoprak Praja Budaya.(Foto:SN/dok-adv-aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI-Bagi peremouan anggota Komisi D DPRD Pati ini, tampil di panggung politik adalah hal biasa. Akan tetapi tampil di panggung seni ketoprak untuk memainkan salah satu peran dalam sebuah cerita, tentu bar kali pertama, dan sudah pasti menjadi pengalaman pertama pula yang benar-benar luar biasa.
Malam ini, di Alun-alun Simpanglima tengah digelar pertunjukan ketoprak tahunan, Praja Budaya, tepatnya bila bulan November. Sebab, di bulan ini para aparatur sipil negara (ASN) tengah memperingati ke-47 HUT Korpri, dan agenda rutin untuk memeriahkan HUT tersebut adalah menyelengarakan hiburan ketoprak.
Sudah pasti, para pemainnya adalah semua unsur personel ASN, dan tak ketinggalan Bupati Haryanto, Sekda Suharyono pun ikut ambil bagian. Tak ketinggalan Dandim 0718 Pati, Letkol Arief Darmawan juga ikut serta bermain kesenian tradisional ini berperan sebagai Penembahan Senopati dalam cerita Roro Mendut Boyong.
Demikian pula, satu dari tiga anggota Komisi D DPRD setempat yang bidang tugasnya meliputi pula masalah seni budaya ikut ambil bagian. Untuk Endah Sri Wahyuningati, malam ini harus memerankan ssok Nyai Jiwonolo yang tak lain adalah istri dari Ki Gedhe Jiwonolo, peremouan sederhana dalam keseharian yang dalam kondisi tidak sebagai orang kaya.
Sebab, pekerjaan sehari-hari bersama suaminya hanyalah pembuat perkakas rumah tangga dari anyaman bambu. Perkawinannya dengan Ki Gedhe Jiwonolo, dikaruniai putra semata wayang, Joko Kemudo yang menjalin percintaan dengan putri Ki Gede Rogowongso yang sebenarnya masih satu peguruan dengan Ki Gede Jiwonolo, Roro Mendut.
Atas tekad pasangan muda Joko Kemudo dan Roro Mendut, untuk mewujudkan impiannya membentuk mahligai rumah tangga, maka pemuda itu meminta kedua orang tuanya untuk melamar gadis pujaannya. Akan tetapi mereka sudah mengingatkan dan bahkan melarang, agar putranya tidak melanjutkan hubungan asmaranya dengan Roro Mendut.
Alasannya, lamarannya pati akan ditolak karena perbedaan strata kehidupannya yang tidak berimbang dengan kehiupan Ki Gede Rogowongso yang kaya raya, sombong dan jumawa. Di sinilah, pemeran Nyi Ageng Jiwonolo ini dituntut kemampuannya bermain sebagai orang tua yang terhina dalam upaya memenuhin tuntutan putranya.
Di sinilah awal dari konflik besutan cerita ini, karena masalah perbedaan status sosial ini sebenarnya sejak zaman dahulu hingga era melinial ini, tetap masih terbawa dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Cerita pun akan mengalir dengan konflik antara kedua tokoh tersebut, dan keduanya pun harus dipaksa melihat kenyataan, sebagaimana pepatah ”anak polah bapa kepradah.” (sn-adv)