Pusat data benda-benda bersejarah, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto, Jawa Timur.(Foto:SN/dok-fwp-aed)
SAMIN-NEWS.COM ANGKA Tahun 1323 seharusnya menjadi momen penting yang paten untuk catatan sebuah peradaban bagi suatu daerah yang selama ini disebut Pati. Nama itu sendiri pun mengacu dari cerita tutur, disebut Pati konon itu berawal saat sosok tokoh leluhur Kembang Joyo, bersama para pengikutnya membuka alas Kemiri untuk membuka wilayah baru sebagai pusat pemerintahan.
Siapa sebenarnya Kembang Joyo, masih dalam cerita dari sumber yang sama adalah adik Penewu setingkat Wedana Majasemi (Mejasem) untuk sebutan nama pohon ”maja” dan ‘‘asem” atau sekarang daerah itu menjadi Mojoagung, Kecamatan Trangkil, yaitu Sukmoyono. Tentang asal-usul dua sosok kakak-beradik ini juga (konon), adalah putra Sunan Muria.
Kisah tutur yang bertahun-tahun diyakini kebenarannya oleh masyarakat ini, karena menjadi cerita paten seni pertunjukan ketoprak, dan bahkan dibakukan menjadi buku ajar muatan sejarah lokal Pati, hampir mirip-mirip dengan kisah Raden Wijaya (1293, ketika harus membuka alas Terik di Mojokerto untuk mendirikan sebuah pusat pemerintahan, yaitu Kerajaan Majapahit dari nama buah ”maja” yang rasanya ”pahit” untuk tahun berdirinya jelas, dan sahih.
Bagaimana dengan nama Pati? Namanya berasal dari saripati bisa terbuat dari umbi-umbian maupun proses pembuatan dari bahan baku pohon rembulung (rumbia) maupun aren (enau) yang oleh yang oleh seorang penjual minuman dawet, Ki Cekong pernah disuguhkan kepada Kembang Joyo bersama para pengikutnya. Saat mereka tengah membuka alas Kemiri, semua kehausan karena kehabisan air untuk minum.
Dengan minum dawet yang bahan (cendolnya) dari saripati tersebut, maka nama bekas hutan Kemiri yang baru dibuka itu diberi nama Pati. Pemberian nama yang prosesnya mirip-mirip nama Majapahit, tentu sah-sah saja karena sudah diamini secara turun temurun oleh para kawulanya, tapi berapa angka tahun berdirinya?
Hal tersebut baru ditetapkan setelah Pati membentuk Tim Hari Jadi Pati (THJP) Tahun 1994, karena untuk memenuhi syarat dalam upaya masa pemerintahan Bupati Sunarji meraih penghargaan Adipura. Proses penentuan angka tahun tersebut oleh tim, selain mengacu pada cerita Babad Pati dan cerita tutur juga merujuk pada sebuah prasasti Tuhanaru.
Berdiskusi di lapangan bersama petugas Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Abdul Rozak.(Foto:SN/dok-fwp-aed)
Prasasti tersebut konon dibaca dan dikaji oleh THJP di Museum Trowulan, tapi petugas museum menyatakan di Trowulan sama sekali tidak pernah mengetahui, melihat, dan menyimpan saat anggota Forum Wartawan Pati (FWP) menelisik, untuk mendiskusikannya dalam Focus Group Discusion (FGD). Sebab, ada sisi menarik bahwa THJP berhasil menetapkan angka Tahun berdirinya Pati berdasarkan prasasti itu, adalah 1323.
Dengan demikian, masa perdaban Pati terhitung cukup tua karena Tahun 2019 nanti akan memperingati prosesi hari jadi Ke-696. Sehingga usia tersebut sama dengan masa Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan rajanya yang Ke-2, Raden Kalagemet (penjahat lemah) yang bergelar Raden Jayanegara (1309-1328)
Lagi-lagi kemiripan (mngkin) tidak ada unsur kesengajaan, THJP juga menetapkan angka tahun tersebut saat Adipati Pati yang kedua, yaitu Raden Tombronegoro, putra Adipatei Pati Kembang Joyo yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kemr ke Kaborongan (sampai sekarang). Hanya yang menjadi permasalahan, dan tersisa sampai sekarang, adalah penetapan angka tahun tersebut sama sekali tidak sesuai jika yang dijadikan dasar acuan adalah Prasastu Tuhanaru (1323).
Banyak kelompok diskusi kesejarahan di Pati, di antaranya yang tergabung dalam Yayasan Arga Kencana, dan bahkan FWP sendiri merasa dan menemukan ‘‘ketidakjujuran” THJP dalam hal penetapan angka tahun berdirinya Pati, meskipun dalam upayanya untuk menelisik di mana keberadaan prasasti itu, baik di Museum Trowulan, BPCB Mojokerto, dan Museum Empu Tantular, di Sidoharjo, tidak diketemukan.
Akan tetapi, upaya yang terus dilakukan dengan mengendus dari narasumber beberapa ahli sejarah, termasuk seorang epigraf (ahli membaca akasara kuna), di mana letak dan keberaaan prasasti Tuhanaru itu mulai menemukan tidak lagi ”titik samar’ melainkan sudah mendekati ”titik terang” dan tinggal melihat serta mengecek bukti fisiknya.
Apalagi, sejumlah narasumber sudah menyatakan kesediannya untuk membacakan, apa sebenarnya isi prasasti yang terbuat dari lempengan perungu, sebanyak 10 lempeng itu. Dengan demikian, sekarang memang saatnya untuk menguji kesahihan angka Tahun 1323 yang oleh THJP menjadi titik dasar pijakan berdirinya Pati.
Harapan FWP, dan sudah barang tentu para pemerhati kesejarahan di Pati, jerih payah THJP yang sudah ditetapkan dalam peraturan daerah itu tdak salah. Sehingga tidak perlu ada kebohongan sejarah Pati yang sama-sama kita minum airnya, dan kita makan kandungan kekayaannya hingga anak cucu, buyut, canggah, udeg-udeg sampai gantung siwur.(Ki Samin)