Bukti kalau anggota Forum Wartawan Pati (FWP) mempunyai kepedulian akan sejarah para leluhur di Pati, adalah keseriusannya dalam mendengarkan penjelasan tentang kesejarahan daerahnya yang disebut-sebut mempunyai keterkaitan dengan Majapahit yang museumnya ada di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI-Begitu mengetahui anggota Forum Wartawan Pati (FWP) beramai-ramai menelisik kesejarahan di daerahnya, hal itu bukan bermaksud mengusik tentang apa yang selama ini sudah diyakini banyak pihak karena ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (perda). Yakni, tentang angka tahun berdirinya pemerintahan kabupaten ini yang sampai sekarang sudah mematok pada angka 695, terhitung sejak Tahun 1323.
Karena itu harus dipisahkan pemahaman antara kata menelisik dengan memngusik yang memang beda jauh, baik maksud maupun konteks kepentingannya.yang sudah barang tentu, maksud dan tujuan anggota FWP ini hanya ingin mendudukkan sejarah Pati secara proporsional dengan warna yang tetap tidak berbeda dengan aslinya.
Menurut Wakil Ketua FWP, Wicaksono Adi Prabowo Yekti yang juga ikut beramai-ramai bersama rombongan FWP lainnya, bahwa sejarah tetap sejarah Sehingga tetap harus ada pada tataran antara hitam dan putih, dan salah-benar, bqaik-buruk yang tidak membutuhkan pembelaaan apa-apa, dari dan oleh siapa.
Dengan demikian tidak ada hak siapa pun untuk mengklaim, paling benar, termasuk pemerintah karena merasa sudah menerbitkan ketentuan, serta aturan untuk melindungi kepentingannya. Hal itu jika mau secara jujur mengakui, bahwa pada awalnya penyusunan sejarah berdirinya Kabupaten Pati, demi meraijh tujuan dan memenuhi syarat bisa memperoleh penghargaan Adipura.
Syarat untuk itu daerah harus mempunyai catatan angka tahun tentang hari jadinya, sehingga dimulai dari 1994 dibentuklah panitia penyusun sejarah Hari Jadi Pati. ”Akan tetapi sampai 1995 atau selama satu tahun, tim penyusun belum berhasil menuntaskannya, sehingga waktu itu dalam penilaian hanya mendapatkan sertifikat,”ujarnya.
Akan tetapi, katanya lagi, di tahun-tahun berikutnya terjadi sejarah Hari Jadi Pati yang dimulai pada Tahun 1323 mengalami pergeseran tujuan. Yaitu, secara kelembagaan upaya memperoleh Adipura berdiri sendiri, dan sejarah hari jadi juga beralih tujuan, karena menjadi bagian dari unsur penyelenggaraan kepariwisataan.
Akibatnya, masing-masing berdiri sendiri tapi masih menyisakan hal-hal yang sarat dengan pengibulan masal, utamanya tentang angka tahun berdirinya Kabuaten Pati. Lantaran tim penyusun sejarah yang dikaitkan dengan syarat untuk memperoleh Adipuara waktu itu menyebut salah satu dasarnya yang paling dominan, yaitu ”Berdasarkan isi dari Prasasti Tuhanaru yang di Museum Trowulan.”
Namun apa lacur, ketika prasasti yang disebut-sebut berada di museum tersebut begitu dicari museum itu justru membuat petugas museum, Abdul Rozak heran, karena selama dia bertugas di museum itu sejak 1990 sama sekali tidak pernah melihat prasasti itu. Sehingga atas penjelasan tersebut yang bersangkutan, justru ingin bisa ikut melihatnya.
Dengan demikian, diajaklah perwakilan FWP menuju ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari museum tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi apa yang disampaikan perwakilan FWP tentang prasasti tersebut membuat petugas yang ada di BPCB juga heran, termasuk salah seorang arkeolognya, Wicaksono.
Dengan kata lain, bahwa yang bersangkutan juga sama sekali tidak pernah melihat bentuk prasasti itu ang disebut-sebut berada di museum Trowulan oleh tim penyusun sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati yang berangka Tahun 1323, atau pada masa Kerajaan Mojopahit di bawah kekuasaan Jaya Negara. ”Untuk mengakahiri keheranan dan ketidaktahuan pihak yang berkompeten berkepanjangan, akhirnya perwakilan FWP disarankan mencari prasasti dimaksud ke Museum Empu Tantular, di Sidoharjo juga di provinsi yang sama,”katanya.(sn),