Tradisi Lebaran Bupati Haryanto beserta jajaran Forkopimda Pati, membuka kesempatan kepada warganya untuk bersilaturahim, saling memaafkan karena sadar atas kesalahan yang disengaja maupun sebaliknya.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM DALAM konteks sejarah sejak masa pemerintahan berbentuk kerajaan hingga sekarang, seorang Adipati atau Bupati tetap menjadi panutan dan sesembahannya para kawula. Karena itu, para kawula wajibnya harus marak sowan ngabiantara pada saat tinimbalan itu sudah menjadi tradisi yang membudaya hingga sekarang, meskipun tata pemerintahan sudah jauh lebih modern.
Akan tetapi, sosok seorang Bupati pada masanya tetap tak bisa lepas atau meninggalkan tradisi tersebut, demikian pula para punggawa mulai dari tingkat nayaka dan tingkatan terendah sekali pun. Dengan membuka lebar pintu maaf, maka terbukalah kesempatan untuk saling menghargai dalam momong para kawula.
Karena itu, nilai-nilai budaya luhur tersebut secara turun temurun menjadikan bangsa ini bisa bertahan dalam kearifan dan kesantunan dalam berpikir, berbuat, dan bertindak. Kendati demikian, gesekan perkembangan peradaban dunia modern hal itu mulai menggerus apa yang seharusnya menjadi jati diri bangsa ini.
Hal tersebut akibat tuntutan modernitas yang kadang-kadang meniadakan logika, karena semua serba pragmatis sehingga nilai-nilai lama keburu ditinggalkan, tapi nilai baru belum teruji kesakhiannya. Dampak dari semua itu adalah maraknya kemunculan berpikir yang tidak konstruktif, serba cepat tanpa analisis hanya karena sekadar memenuhi tuntutan, tanpa melihat esensi tentang yang dibutuhkan.
Dengan demikian, kita ini hanya bisa menjadi bagian dari proses kemajemukan peradaban, tanpa pernah tahu mana ujung dan mana pangkalnya. Kondisi itu kian bertambah parah, ketika apa yang disebut reformasi masuk terlalu jauh hingga ke relung lorong absurditas yang disebut kebebasan sehingga hal tersebut dianggap sebagai hak paling hakiki setiap individu.
Padahal kebebasan jika harus diadopsikan dengan aturan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat, tentu terikat dengan batasan-batasan, norma sosial, hukum, dan juga norma agama tentu memiliki nilai budaya yang sudah terbangun secara turun-menuruan Karena itu, kendati hal tersebut menyangkut hak hasasi manusia (HAM), semua harus tetap berjalan di atas rel peradaban pada masanya.
Sebagai bangsa yang bebudaya, tentu tetap harus menjunjung tinggi kehormatan baik sebagai pribadi maupun dalam konteks dalam berbangsa dan bernegara. Di sinilah seharusnya peran Buoati harus kita posisikan sebagai pemimpin dan sesembahan para kawula yang seharusnya harus dihormati secara proporsional, sehingga dibukanya lebar-lebar pintu maaf dalam tradisi budaya Lebaran ini harus kita junjung tinggi.
Melalui permintaan maaf dan saling memaafkan yang tuus, itulah bukti kecintaan antara para kawula terhadap pemimpinnya. Jika semua rakyat sadar tentang hal itu, maka tidak ada lagi ungkapan akulah yang paling bener dan paling bisa, karena hal itu menjadi wujud pelaksanaan tanggung jawab antara yang dipimpin dan yang memimpin. Semoga!! (Ki Samin)