Edy WS, Jaringan Aliansi Pemerhati Penyakit Masyarakat (JAPPM) Jawa Tengah.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Habisnya ketersediaan obat penyakit kelamin oleh pemerintah, hal itu mengindikasikan bahwa penderita penyakit tersebut di Pati cukup tinggi, meskipun tidak tersedia data berkait jumlah maupun lokasi wilayah sebarannya. Akan tetapi, faktor penyebab utama penyakit menular itu dipastikan karena akibat hubungan seks yang berganti-ganti pasangan.
Kondisi di Pati seperti itu sudah berlangsung cukup lama dan seperti tidak pernah tertuntaskan, karena hal itu merupakan bagian dari berjangkitnya salah satu penyakit masyarakat (Pekat). Yakni, tersedianya pusat kegiatan para pekerja seks komersial (PSK), seperti yang cukup terkenal adalah Lorong Indah (LI) dan Kampung Baru (KB), di Desa/Kecamatan Margorejo, Pati.
Di LI, misalnya, kata Edy WS dari Jaringan Aliansi Pemerhati Penyakit Masyarakat (JAPPM) Jawa Tengah, selama puasa Ramadan penghuninya justru meningkat mencapai tidak kurang dari 300 orang. Belum lagi yang ada di KB, tapi untuk mendapatkan data di tempat ini tidak bisa maksimal, karena kebanyakan para PSK yang bersangkutan tidak menetap.
Maksudnya, para penghuni lokasi itu datang pada sore dan pagi sudah meninggalkan tempat tempat itu, sehingga diperkirakan jumlah mereka juga mengalami peningkatan. ”Mereka tahu, bahwa ramainya pengunjung biasanya berlangsung menjelang Lebaran karena banyaknya para perantau yang mudik,”ujarnya.
Hal tersebut, katanya lebih lanjut, masih diperburuk dengan para PSK yang menjajakan diri secara liar di lingkungan Pasar Hewan Margorejo, ditambah lagi dengan praktik sama di lokasi yang dikenal dengan sebutan Jatiwangi, di Juwana. Khusus yang disebut terakhir, karena tempat praktik mereka di semak-semak di bawah rimbunnya tanaman pohon jati milik warga yang terletak di belakang dereten ruko.
Karena para PSK di tempat itu kebanyakan mengunakan minyak wangi murahan sehingga baunya semerbak sudah tercium dari kejauhan, maka tempat praktik pelayanan mereka di bawah pohon jati menginspirasi penyebutan nama itu sebagai Jatiwangi. Komsumen layanan mereka kebanyakan para anak buah kapal (ABK) yang baru kembali dari melaut.
Upaya pemerintah kabupaten setempat yang selama ini menggunakan pola razia gabungan, ternyata sampai sekarang juga tidak menyelesaikan permasalahan. Sehingga lokasi yang dirazia juga termasuk di pinggir jalan raya Juwana-Rembang, tepatnya di Gajahkumpul, Kecamatan Batangan, dan tempat lain seperti di Gabus dan Tayu juga ada.
Dengan tersedianya tempat praktik para PSK, belum lagi dari kelompok lain yang dikenal dengan sebutan pemandu karaoke (PK) yang juga berprofesi sampingan, dampak yang ditimbulkan tentu banyaknya penderita penyakit kelamin. ”Karena itu peringatan bagi para PSK dan konsumen pelanggannya, jika obat subsidi pemerintah untuk mengatasi penyakit itu tidak lagi tersedia, pencegahan paling tepat adalah menghentikan praktik mesum tersebut,”tandas Edy WS.(sn)
Obat Penyakit Kelamin Subsidi Pemerintah Habis Tiga Bulan Lalu
SAMIN-NEWS.COM PATI – Kepala Bidang (Kabid) Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Pati, Joko Laksono tidak mengelak bahwa obat subsidi untuk penyembuhan penderita penyakit kelamin di Pati, sejak tiga bulan lalu sudah habis. Selama ini obat tersebut berasal dari bantuan Kementrian Kesehatan RI.
Akan tetapi, katanya, kementrian yang bersangkutan sejak Tahun 2017 tidak lagi mengalokasikan APBN untuk lelang pengadaan obat tersebut. Sehingga yang disalurkan melalui Dinas Kesehatan Provinsi adalah sisa persediaan tahun anggaran sebelumnya, dan obat yang diterima pihaknya juga sudah tidak lagi tersedia di gudang farmasi, karena sudah dialokasikan ke puskesmas yang angka penderita penyakit itu tergolong tinggi.
Selain di Puskesmas Margorejo juga Juwana, Batangan, ditambah Gabus dan Puskesmas Tayu yang seharusnya masing-masing diberi kewenangan belanja sendiri untuk pengadaan obat itu. Akan tetapi karena selama ini menggantungkan hal itu ke pihaknya, maka kalau persediaan sudah habis yang di puskemas tentu juga tidak ada.
Di sisi lain, jika pihaknya mengalokasikan APBD untuk keperluan obat itu jika nilai pagunya mencapai Rp 200 juta, jelas harus melalui proses lelang pengadaan. ”Itu pun tidak dibenarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena yang mempunyai kewenangan tersebut sebenarnya adalah puskesmas,”ujarnya.
Dengan demikian, masih kata Joko Laksono, APBD kabupaten tentu tidak mengalokasikan pagu anggaran untuk keperluan itu. Hal sama tentu tidak hanya terjadi di Pati, tapi juga di kabupaten/kota lain di Jawa Tengah, untuk sementara mungkin hanya Pati yang habis persediaannya karena penderita penyakit kelamin itu memang cukup tinggi.
Hanya saja, Joko Laksono tidak menyebutkan data angka secara pasti, tapi yang paling retan dan rawan penederita penyakit tersebut memang ada di Margorejo, karena merupakan pusat transaksi antara penjaja dan konsumen. Disusul Juwana, Batangan ditambah Gabus dan Tayu, mengingat yang terjangkiti tidak hanya pihak perempuan, tapi juga lelaki pengguna jasa layanannya.
Berkait dengan habisnya persediaan obat tersebut sudah didiskusikan bersama kepala gudang farmasi dan kepala dinas, sehingga untuk sementara jalan pemecahannya, penderita tidak bisa lagi mendapat paket bantuan obat tersebut. Sehingga penderita harus membeli sendiri, tapi harganya sedikit lebih mahal.
Jika satu paket lengkap dengan obat untuk suntikan berkisar antara Rp 150.000, tapi demi kesembuhan penyakit yang diderita harga berapa pun memang harus bisa dipenuhi. ”Itulah sebenarnya permasalahan habisnya persediaan paket obat bantuan untuk penyembuhan penderita penyakit menular tersebut,”imbuhnya.(sn)