SAMIN-NEWS.COM TRADISI ber-Lebaran dengan bermaaf-maafan adalah sebuah budaya bangsa di republik ini yang tak pernah lapuk oleh waktu, sehingga kita bisa belajar banyak dari peristiwa budaya ini. Sebab, landasan untuk itu juga sudah didahului dengan penyadaran keimanan khusunya umat muslim melalui uji amalan dengan berpuasa di bulan Suci Ramadan.
Dengan berakhirnya puasa Ramadan yang tinggal beberapa hari lagi, tentu perlu segera mempersiapkan diri hal-hal baru, utamanya dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Sehingga berakhirnya bulan Suci Ramadan, bukan berarti berakhirnya upaya setiap individu untuk tetap konsisten dengan hal kebaikan dan kebenaran.
Karena itu, marilah kita bersama-sama menempatkan diri sebuah pemikiran yang positif utamanya dalam berbangsa dan bernegara. Sebab, kita punya NKRI yang sudah menjadikan kita sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudaya di antara bangsa-bangsa lain di dunia, sehingga perbedaan di antara kita harus kita terima sebagai berkah dan karunia dari-Nya.
Jangan hanya karena beda paham tentang politik dan agama, suku, ras maupun golongan menjadikan semua itu sebagai agenda untuk saling menghujat dan menista. Terlalu naif jika kita mempunyai kebebasan berpikir dan berpendapat hanya sekadar untuk melahirkan hujatan dan ujaran kebencian, kendati itu di dunia maya.
Contoh yang menunjukkan rendahnya tingkat budaya kita, selama ini tak lain terhadap seorang pemimpin negara di republik ini, Presiden Jokowi. Jika hal itu hanya lantaran menghadapi tahun politik, semua anak bangsa ini toh sudah diberikan kebebasan untuk menggalang aspirasi, baik secara individu mapun kelompok.
Pertanyaannya, kemudian di mana letak kesalahannya seorang presiden, pemimpin, dan bapak republik ini hampir tiap hari dihantam dengan hujatan dan ujaran kebencian? Sebagai pribadi, Jokowi dalam melaksanakan tugasnya tentu mempunyai kekurangan, tapi kekurangan itu bukanlah kesalahan karena kekurangan itu bagian dari diri setiap manusia.
Akan tetapi kita ini sebagai bangsa seperti tak bermartabat, karena terbius keinginan untuk menjadikan kekuasaan ini sebagai singgasana menara gading, sehingga melakukan hal-hal yang distruktif. Padahal, pemimpin bangsa di republik ini dipilih dan dilakukan melalui sebuah proses yang legal berdasarkan konstitusi nasional.
Jika dalam perjalanan kepemimpinannya ditemukan adanya kekurangan, hal itu bukan suatu kejahatan Apalagi, republik ini bukanlah warisan nenek-moyang kita yang harus jadi rebutan, sementara republik dengan ratusan juta rakyatnya selalu membutuhkan perhatian, perlindungan, dan layanan yang berkelanjutan.
Hal lain berikutnya, di akhir bulan Suci Ramadan bukanlah mesti harus berakhir upaya kita untuk saling berpesan dan berbuat tentang kebaikan serta kebenaran. Masih banyak yang harus kita perbuat, termasuk meningkatkan kepedulian terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan oleh ketidakberuntungan pada gantungan yang namanya nasib.
Kita tak boleh berhenti hanya meningkat amalan dan berbuat baik selama berpuasa, tapi sesudahnya kita kembali terjebak dalam belantara rimba raya, nafsu keserakahan hanya untuk bisa duduk di singgasana kekuasaan. Jika hal itu sampai terjadi, kita bangsa yang mempunyai budaya adiluhung, hanya akan membuat kehancuran di negeri sendiri.
Berpikir dan bertindak dengan hati bersih dari nafsu duniawi, hal itu sangat ditunggu oleh jutaan anak bangsa di republik. Ayo, silakan siapa saja bisa memulai karena berakhirnya bulan Suci Ramadan, bukan berarti harus berakhir upaya untuk terus tetap berbuat baik, dan berpikir positif demi menjaga tetap tegaknya NKRI. ( Ki Samin)