Mengungkap Peradaban Usang Pati Tempo Dulu (lanjutan)

TENTANG siapa Empu Sumali yang asal Klaling, adalah adik seperguruan Empu Suwarno di Ngagul. Karena banyak membantu Kembang Joyo dalam membuka alas Kemiri, maka sebelum itu dia lebih banyak bertempat tinggal di dukuh Bantengan (Trangkil), tak jauh dari pusat pemerintahan kakaknya, Sukmoyono, Penewu Mojosemi (Mojoagung), dan di Bantengan sempat pula empu murid resi Kumbang Dedali itu membuat sebuah sumur.

Saat pelarian Dalang Soponyono bersama kedua adik perempuannya Ambar Sekar, Ambar Sari dan Putri Rayung Wulan, karena kehausan maka sumur itu pun digulingkan karena saat hendak mengambil air tidak ada timba tersedia. Sehingga sumur tersebut sampai sekarang dikenal dengan sebutan Sumur Gemuling, lagi-lagi itu berdasarkan cerita tutur.

Akan tetapi, dari bukti tersebut, jika dikaitkan dengan sosok Kembang Joyo, pertanyaannya pun kembali menjadi tumpang-tindih. Sebab, belakangan ini sejumlah kepala desa di wilayah Kecamatan Wedarijaksa, Pati, tengah berupaya menelisik keberadaan bekas Kadipaten Carangsoko yang Adipatinya disebut-sebut bernama Puspohandum Joyo.

Adipati inilah yang harus berseteru dengan Adipati Parang Garuda, Yudhopati yang tak lain adalah ayah dari Menak Josari. Padahal di sisi lain, Josari itu disebut-sebut pula sebagai Ki Ageng Kemiri yang menamai Kemiri Wetan sebagai Sarirejo hingga sekarang, sehingga sosok tokoh Kembang Joyo ini ada pada masa pemerintahan kedua kadipaten itu rentang waktunya dengan Ki Ageng Kemiri tentu teramat jauh.

Dengan ditemukannya sebuah batu merah yang diduga berasal dari bekas fondasi Kadipataen Carangsoko, dan hendak ditilisik oleh sejumlah kepala desa jika benar adanya tetap masih membutuhkan peran pihak arkeolog agar bisa menentukan masa/tahun keberadaannya. Sehingga jawaban atas pertanyaan yang tumpang-tindih selama ini kian mebjadi gamblang, itu pun selama pihak yang berkompeten benar-benar menaruh kepedulian.

Jika pembiaran itu tetap terjadi, maka lagi-lagi sampai kapan pun Pati tidak jelas sejak kapan mempunyai peradaban sebuah pemerintahan, terutama tentang masa pemerintahan Adipati Kembang Joyo di Kemiri sampai dipindahkannya pusat pemerintahan tersebut ke Kaborongan oleh putranya, Adipati Tombronegoro. Sedangkan peristiwa demi peristiwa, saat Kembang Joyo berkuasa selain memberontaknya Empu Sumali juga Empu Suwarno.

Padahal dituturkan, saat Empu Sumali menguasai Kadipaten Pati, Kembang Joyo bersama keluarganya harus minta perlindungan Empu Suwarno. Oleh yang bersangkutan, Kembang Joyo untuk sementara di tempatkan (nyanggrah) di sebuah kampung, masuk kawasan wilayah Sani dan kampung itu sampai sekarang disebut Pesanggrahan.

Ketika pemberontakan Sumali yang menuntut pemberian hadiah Bumi Bothak Kulon Negoro berakhir, Empu Suwarno yang pernah melindunginya juga melakukan makar. Pangkal permasalahannya, Empu Suwarno merasa dilecehkan oleh Kembang Joyo yang hendak membangun jalan dari Pati menuju Muria,  tanpa pernah diajak berembug.

Karena ini hanya sebuah cerita tutur, maka ujung dan pangkalnya pun kembali kepada pembuat/pemilik cerita tersebut. Akan tetapi secara turun temurun, hal itu tetap diyakini benar adanya, karena tempat tinggal Empu Suwarno di Dukuh Ngagul, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Pati, masih ada hingga sekarang.

Demikian pula, sebuah tempat yang pernah digunakan sebagai pande besi atau tempat membuat keris oleh empu yang bersangkutan juga diyakini masih ada. Selain itu, jika masa itu ditarik jauh ke belakang atau pada peradaban masa Ki Ageng Ngerang I, peninggalan yang diyakini pada masa itu pun masih bisa dijumpai.

Di antaranya pintu gerbang kaputren Kerajaan Mojopahit, di Dukuh Rondole dan nama dukuh itu sendiri yang diyakini terjadi pada masa Ki Ageng Ngerang. Demikian pula untuk sebuah temat, di jalur Pati-Juwana juga terdapat sebuah jembatan yang diberi nama Sigelap, ketika Raden Ronggo Joyo, putra Adipati Tanjungpuro, Cokrojoyo kecewa gagal mempersunting  bibinya, Roro Pujiwat yang tak lain adalah putri Ki Ageng Ngerang.

Di tempatitu juga terdapat punden, Den Ayu Pujiwat yang meninggal karena saat lari dari kejaran Ronggojoyo sempat dilempar ganjal pintu kaputren Majopahit yang masih ditinggalkan di Rondole. Sebab, untuk bisa membawa pintu keputren itu sesuai permintaan Roro Pujiwat, Ronggojoyo harus menggunakan jasa para lelembut, Sapi Gumarang dan Kebo Anabrang.

Khusus yang disebut terakhir juga sama-sama hendak menguasai pintu gerbang kaputren, tapi untuk Kebo Anabrang atau biasa juga dipanggil Bambang Kebo Nyabrang agar diakui sebagai pura Sunan Muria. Dari cerita tutur inilah sampai sekarang tak lekang oleh waktu dan lapuk oleh zaman, termasuk mengapa Bambang Kwebo Nyabrang minta diakui sebagai putra Sunan Muria?(bersambung)

Previous post Gusdurian Ajak Nobar Piala Dunia di Kelenteng Hok Tik Bio
Next post Semua Puskesmas Wajib Layani Penderita IMS

Tinggalkan Balasan

Social profiles