Catatan Redaksi
SAMIN-NEWS.COM BAGI siapa pun yang mempunyai kepedulian untuk menelisik dan mengungkap peradaban Pati tempo dulu, sebenarnya hal usang yang pada akhirnya akan bersinggungan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten (pemkab) setempat. Apalagi jika tidak menyangkut, penetapan Hari Jadi Pati yang diperingati setiap 7 Agustus, karena sudah diklaim sebagai kebenaran sebuah sejarah.
Bicara kebenaran sejarah memang tidak bisa lepas dari sumber baik artepak, babad dan tutur tinular lantaran kita ini miskin akan data dan fakta untuk mencatat dan mengungkap Sejarah Pati secara hitam putih yang lebih komprehensif. Karena itu yang terjadi adalah pengulang-ulangan ungkapan tanpa ujung-pangkal.
Lebih memprihatinkan lagi, jika ungkapan tersebut justru saling menonjolkan egoistis tentang yang paling benar, apalagi jika hal itu sudah dianggap hal yang bisa diterima masyarakat. Tanpa disadari lambat-laun hal itu tak ubahnya sebagai racun yang semakin tidak jelas mencekoki generasi mendatang, karena sesuatu yang diklaim sebagai kebenaran sebuah sejarah peradaban.
Salah satu contohnya tak lain penetapan Hari Jadi Pati yang sudah disahkan sejak awal oleh keputusan pemerintah setempat dan DPRD, sehingga apa yang tersaji ini hanyalah catatan usang atas pengulangan sesuatu yang juga tidak jelas ujung pangkalnya. Hanya, bicara tentang sejarah perabadan Pati, selamanya tak pernah bisa lepas dari Kemiri.
Sebuah dukuh yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Sarirejo, karena nama desa itu sendiri tidak pernah ada yang berupaya membuat catatan tentang asal-usulnya. Berbeda dengan Kemiri yang menurut cerita tutur adalah ketika Kembang Joyo yang disebut-sebut putra Sunan Muria hasil perkawinan dengan Roroyono, putri Ki Ageng Ngerang I.
Temat tinggalnya semasa itu, di Dukuh Bantengan dan kakaknya Sukmoyono itu sebagai penewu Mojosemu. Pascaperang antara Kadipaten Carangsoko dan Paranggaruda yang tengah berkonflik karena gagalnya perkawinan antara putri Crangsoko, Rayungwulan dengan Josari, putra Adipati Paranggarudo.
Sebab, putri adipati itu tidak tertarik pada Josari karena yang digambarkan sebagai tokok buruk rupa, tak ubahnya dalam cerita masa Kerajaan Majapahit di mana Minakjinggo yang tertarik kepada putri kerajaan juga digambarkan seperti itu. Sehingga cerita tokoh yang berbeda itu, sepertinya ada persamaan, yaitu unsur kesengajaan yang sampai saat ini belum pernah terungkap maksud dan tujuan pembuat cerita tersebut.
Terlepas dari gagalnya perkawinan Josari dengan Rayungwulan yang lebih tertarik pada kegantengan Dalang Soponyono, akhirnya Kembang Joyo yang menikahi kedua putri adik dalang itu membuka daerah baru. Tempat tersebut pun diberi nama Kemiri, karena konon daerah baru yang dibuka sebelumnya merupakan daerah yang banyak ditumbuhiu pohon kemiri.
Namun sayang, catatan tentang tahun dan masa di mana Kembang Joyo mendirikan pusat pemerintahan tersebut sama sekali tidak ada. Tai ada yang menyebutkan, Kemiri pada masanya pernah terbagi dua, yaitu Kemiri Kulon dan Kemiri Kulon masuk kewilayahan Karangdowo, sehingga mengindikasikan bahwapemerintahan Kadipaten Pati yang terpusat di Kemiri, jelas sangat lemah pembuktiannya.(bersambung)