Salah satu di antara puluhan buah pare yang ditanam di lingkungan Kampus Kehidupan TPA Sukoharjo, Kecamatan Margirejo, Pati, ada yang sudah memasuki proses penuaan bisa sebagai bahan renungan soal kaderisasi.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM TUMBUHAN yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan pun secara alami harus melalui proses kaderisasi, baik secara rekayasa genetika maupun secara alami. Mengambil contoh dari proses tersebut, kita sebagai makhluk yang paling berhak atas kehidupan yang lain seharusnya bisa belajar dan merenung dalam berpikir secara sederhana.
Melalui cara dan upaya tersebut, tentu kita banyak mendapat pelajaran dari makhluk-makhluk lain yang hanya kita anggap sebagai pelengkap dalam kehidupan sehari-hari. Padahal belajar dari tumbuhan saja, dalam pemikiran kita tidak pernah terlintas sehingga yang lahir dari kita akhirnya hanya sikap-sikap keserekahan dan ketamakan.
Jika sikap yang demikian terus kita manjakan dalam kehidupan ini, sebenarnya manusia itu ternyata makhluk paling lemah bila dibanding yang lain, baik itu tumbuhan maupun binatang. Sebab, tumbuhan maupun binatang tidak mempunyai egoisme seperti manusia, tapi manusia justru memiliki sifat binatangisme dan bentuk-bentuk isme yang lain.
Dari contoh untuk bisa ambil bagian dalam mengatur tata pemerintah maupun bagian politik lainnya, kita selalu mengedepankan kebercokolan dalam kelanggengan. Padahal, alam sebenarnya sudah memberikan pembelajaran tentang batasan waktu dan usia, sehingga menuntut kita untuk rela mempersiapkan estafet.
Akan tetapi ketikan kran kebebasan dibuka selebar-lebarnya atas nama demokratisasi, maka yang muncul justru politik selalu menjadi panglima. Sehingga dalam konteks ini, siapa saja ingin tampil sebagai panglima penguasa atas nama amanat penderitaan rakyatnya, baik pada tataran eksekutif maupun legislatif.
Bahkan khusus yang disebut terakhir, selalu muncul keinginan setiap orang untuk mendirikan partai politik hanya dengan satu motif tujuan, yaitu bisa ikut menikmati pembagian rotio kekuasaan. Hal itu selalu menjadi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena UU menjamin dan tidak melarang.
Hanya sangat disayangkan, bagi yang sudah merasa tercapai tujuannya maka upaya untuk mempertahankan hal tersebut selalu dilakukan dengan mengabaikan rasa tanggung jawabnya. Sedangkan bagi yang merasa gagal selalu berganti-ganti dalam menggabungkan diri ke partai, sehingga proses sebagai kutu loncat pun menjadi pilihan.
Akibatnya, masa sekarang jangan harap ada kader partai yang benar-benar militan karena merasa tidak pernah mendapat kesempatan di salah satu partai. Karena UU tidak melarang, maka setiap lima tahun hal itu akan terus menerus terjadi, entah sampai kapan republik ini terbebas dari kutu loncat musiman.(Ki Samin)