Eddy Siswanto pemilik catatan budaya etnis Tionghoa dalam ritual penyambutan Tahun Baru Imlek Kelenteng Hok Tik Bio Pati.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Merespons catatan Redaksi Samin News untuk melewatkan catatan tenggal 7 Agustus hari ini, dinilai suatu hal bijak karena berlangsungnya 695 peringatan Hari Jadi Pati tahun ini, tidak perlu harus diperdebatan jika hasilnya tanpa ujung-pangkal. Karena itu, harus ada kebijakan untuk mengajak setiap komponen masyarakat setempat, utamnya yang punya catatan tentang asal-muasal daerah ini dihimpun, dan disandingkan.
Bentuknya tentu berupa tulisan, baik tentang cerita tutur, babad maupun sejarah sehingga bisa dihimpun sebagai pustaka. Akan tetapi, konsekuensinya pemanhku kepentingan daerah ini benar-benar bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai pustaka tentang sejarah dan budaya, agar nanti tetap bisa dimanfaatkan siapa saja, khususnya kalangan generasi mendatang yang ingin tahu tentang latar belakang sejarah Pati.
Hal tersebut disampaikan Pemilik Budaya Kelenteng Hok Tik Bio Pati, Eddy Siswanto, ketika diminta tanggapan tentang Pati. Karena itu, katanya lebih lanjut pihaknya masih perlu mempertegas untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa kelenteng bukanlah bagian dari agama melainkan sebuah budaya yang mempunyai latar belakang sejarah amat panjang peningalan leluhurnya.
Berdasarkan kondisi tersebut, hal itu tak beda jauh jika tata pemerintahan Kabupaten Pati juga punya asal-usul sejarah panjang pula. ”Hanya karena catatan tentang sejarah ini tidak terhimpun dalam bentuk pustaka, maka yang berkembang secara turun temurun hanya berdasarkan cerita tutur maupun babad,”ujarnya.
Sebab, masih kata dia, untuk menuliskannya dalam catatan sejarah tentu bukan hal mudah jika tanpa didukung fakta berupa situs maupun cagar budaya pada masanya, karena fakta-fakta tersebut tentu sudah sulit ditemukan. Itulah resiko dari sebuah proses peradaban yang pernah terjajah, sehingga yang masih tersisa tak lebih dari sisa-sisa cerita tutur yang sulit dijadikan acuan karena terlalu subjektif.
Dengan demikian, upaya paling bijak jika seluruh elemen masyarakat tidak perlu lagi menyoal tentang kebenaran catatan sebuah peristiwa peradaban pada masanya. Akan tetapi yang lebih diutamakan adalah upaya menyandingkan berbagai catatan yang harus dihimpun, agar daerah ini semakin kaya dengan bahan pustaka.
Dari berbagai catatan pustaka tersebut tersebut, untuk penyebarannya harus diproses dalam bentiuk cetak meskipun sekarang sudah lebih canggih berupa arsip digital. Siapa yang harus menanggung seluruh pembiayaan tersebut, sudah barang tentu pihak berkompeten karena catatan-catatan itu akan menjadi aset daerah yang bisa disimpan di perpustakaan.
Jika hal itu bisa diwujudkan, maka ke depan bagi yang bermaksud menggunakan tinggal mencermati dan menganalisanya sebagai bahan referensi, tergantung sudut pandang mana yang dianggap paling cocok. ”Demikian pula kami, untuk membuat catatan tentang sejarah kelenteng sebagai warisan budaya leluhur, kami pun harus mulai melakukannya dari sekarang,”tandas Eddy Siswanto.(sn)