Eddy Siswanto Menyarikan Kembali Sejarah Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia

Eddy Siswanto, Tokoh Pruralisme di Pati.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM
Pengantar : Catatan sejarah itu hitam-putih sehingga tidak bisa diabu-abukan, apalagi dimerah-merahkan, dikuning-kuningkan, dihijau-hijaukan, dibiru-birukan dan juga tidak bisa dihitam-hitamkan serta diputih-putihkan. Itu artinya, catatan sejarah peradaban pada masanya adalah apa adanya, sehingga siapa saja tidak bisa mengklaim atas kebenaran dan kesalahannya. Berdasarkan pemahaman itu, kami mencoba menyarikan kembali Sejarah Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia.
Terimakasih, Eddy Siswanto.
JIKA dirunut dari catatan angka tahun sejarah masuknya suku bangsa Tionghoa ke Indonesia adalah sekitar abad IX, di Tahun 907 Masehi. Dengan demikian, jika dihitung hingga sekarang catatan angka tahun tersebut sudah berabad-abad, atau bahkan sudah ribuan tahun lamanya sehingga saat ini pun terbentuk Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI), termasuk di Pati.
Hal itu semata-mata bertujuan menghapus dikotomi sebutan mayoritas-minoritas, karena apa pun beda  suku, warna kulit, adat-istiadat sampai agama yang dianut dan diyakini kita tetap satu. Yakni, sebagai anak bangsa pemilik dan pewaris sah negara kesatuan yang berdaulat, Indonesia berpulau-pulau dari Sabang hingga Merauke.
Bicara sejarah suku bangsa Tionghoa yang selama ini menjadi bagian dari salah satu suku di Kepulauan Nusantara, dimulai dari I Ching (907) seorang Biksu Budha Tionghoa yang berkelana lewat laut ke Nusantara atau Sriwijaya dan India.  Menurut catatan Biksu itu di tahun tersebut atau pada masa Kerajaan Airlangga sudah ada koloni suku Tionghoa .
Selain mereka ditemukan berada di Tuban, Gresik, Lasem, Jepara, juga di Pati. Saat meninggalkan negerinya, koloni suku itu sama sekali tidak membawa satu pun perempuan karena dalam berkelana lewat laut itu memakan waktu hingga berbulan-bulan sehingga sangat berisiko jika terjadi hantaman gelombang dan badai besar di lautan.
Dengan demikian, koloni itu harus meninggalkan istri tetap tinggal di negeri asal, dan setelah bertahun-tahun menemukan tempat tinggal baru, di Nusantara ini, di antara mereka mereka pun melakukan pernikahan dengan perempuan setempat. Hal itu tidak hanya terjadi pada koloni suku Tionghoa di Bumi Nusantara semata.
Akan tetapi, di seluruh belahan dunia mana pun koloni suku tersebut melakukan hal sama sehingga secara turun-temurun dari koloni suku bangsa ini lahirlah generasi baru. Sehingga di mana bumi dipijak, di situlah langit harus dijunjung meskipun di sela-sela panjangnya rentang waktu harus menghadapi pahit getirnya kehidupan.
Apalagi, dari masa ke masa suku Tionghoa di Nusantara ini tidak lagi memposisikan diri sebagai suku bangsa pendatang, melainkan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan bumi yang menjadi lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga kedatangan bangsa penjajah yang terus menerus mendera untuk memecah belah, memanggil mereka untuk berjuang dan ikut menentiukan sejarah panjang negeri ini.
Karena itu, sekitar abad XV atau pada masa berlangsungnya pemerintahan Kerajaan Islam di Tanah Jawa, seorang Cheng Ho atau Laksamana Cheng Ho pada masa Dinasti Ming Tahun 1407 pun menyusul berlayar ke Nusantara dalam ekspidisi pertama, mendarat di Sambas dan Palembang. Salah satu tujuan ekspidisi tersebut, adalah untuk menumpas para bajak laut lalu membentuk koloni Tionghoa Muslim di Sambas dan Palembang.
Sedangkan tujuan utama dalam pelayarannya ke Nusantara adalah dalam misi persahabatan, perdagangan, alih teknologi dan penyebaran agama. Islam. Dalam alih teknologi, tempat-tempat yang dikunjungi di mana koloni suku Tioanghoa yang sudah lebih dahulu beranak-pinak seperti di Lasem telah mengajarkan seni membatik.
Di sektor pertanian dan perkebunan, dalam pelayarannya Cheng Ho juga membawa bibit dan benih-benihan untuk ditanam. Salah satu bibit buah-buahan yang dikembangkan di daerah koloni adalah bibit buah mangga, sehingga di kawasan pesisir mulai dari Lasem hingga Tuban selama ini merupakan penghasil buah tersebut.
Tidak hanya itu menetapnya koloni suku Tionghoa tentu mengembangkan budaya para leluhur yang dibawanya yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang, di antaranya peninggalan bangunan kelenteng. Salah satu peninggalan Laksamana Cheng Ho berupa bangunan kelenteng termegah, dan berdiri kokoh hingga sekarang, yaitu Kelenteng Sam Po Kong di Semarang (bersambung)  
Previous post Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2019 di Pati Capai 1.025.928
Next post Bupati SK-kan PPKD Pati

Tinggalkan Balasan

Social profiles