Eddy Siswanto Menyarikan Kembali Sejarah Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia (lanjutan)

Eddy Siswanto dan kondisi bangunan bertingkat serta ruas jalan Pancoran, Batavia di Tahun 1930.(Foto:SN/dok)
SAMIN-NEWS.COM – RENTANG panjang waktu ribuan tahun lalu setelah seorang Biksu Budha Tionghoa I Ching (907) berkelana lewat laut ke Nusantara, disusul ekspidisi besar-besaran armada Laksamana Cheng Ho atau Zheng He  yang dilakukan antara 1405dan 1453, etnis Tionghoa ini sudah barang tentu banyak beranak pinak. Sehingga jumlah mereka yang mendiami pesisir utara Jawa, Sumatra, dan Kalimantan hingga Maluku pun mencapai puluhan dan bahkan ratusan ribu orang.
Dengan demikian, para keturunan etnis bangsa pedagang ini disebut peranakan, karena memiliki darah campuran Tionghoa yang laki-laki berkawin-kawin dengan perempuan di mana mereka bertempat tinggal. Suatu hal yang wajar jika dalam perkembangan etnis tersebut juga membentuk suatu perkumpulan modern karena pengaruh tingkat kesadaran sosial.
Kesadaran tersebut sebenarnya sudah muncul sejak abad 18 dan 19, karena mereka sudah banyak yang bermukim di Batavia, sehingga timbulah perkumpulan dari kalangan elite Peranakan Tionghoa tersebut. Sedangkan situasi jauh sebelum masa perang kemerdekaan dan pascakemerdekaan, Kolonial Belanda sudah terlalu lama mencengkeramkan cakar tajamnya di bumi Nusantara melalui sistem politik adu domba.
Karena itu, di antara Tionghoa peranakan  ini sudah merasa senasib dengan kaum pergerakan dan rakyat yang tengah berjuang mati-matian untuk menciptakan bumi Nusantara yang pada masa itu bernama Hindia Belanda menjadi negara merdeka yang berdaulat dan terbebas dari belenggu cengkeraman penjajah.  Akan tetapi, sebagian ada pula yang juga pro kolonial karena membela kepentingan kelompoknya.
Di sisi lain ada yang bersikap bahwa bumi Nusantara tempat berpijaknya, bukanlah sebagai bagian dari kehidupannya, karena merasa bumi leluhurnya tetap berada di daratan Tiongkok. Kondisi perpolitikan seperti itu selalu ada di mana dan kapan saja, dan lagi-lagi juga karena pengaruh pandangan politik serta merasa masih kuat ikatan batin mereka dengan para leluhur.
Akan tetapi, tokoh-tokoh terkemuka Tionghoa peranakan yang bergabung dengan kelompok pergerakan nasional yang mencita-citakan terwujudnya kemerdekaan peran mereka pun tidak bisa diabaikan. Sebut saja nama Liem Koen Hian, tokoh ini adalah pemilik koran Sin Tit Po (1929) berbahasa Melayu yang sekaligus merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.
Koran ini dengan tegas menolak dan meboikot  peliputan pertandingan sepakbola yang diselenggarakan  Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Yakni, asosiasi klub-klub sepakbola yang didirikan orang-orang Eropa (1932), akibat perlakuan para jurnalis Belanda yang rasis karena menyoal perbedaan warna kulit atau nonkulit putih.

Sadar atas kondisi sebagai warga warga nonkulit putih, maka garis perjuangan dan perlawanan yang harus dilakukan melalui media terhadap sikap dan perilaku penjajah yang rasis dan kapitalis, maka tahun itu pula Liem Koen Hian mendirikan sebuah partai, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Terakhir partai ini pun bergabung dengan partai yang didirikan Bung Karno, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI)(bersambung)

Previous post Pembatasan Pembelian Solar Subsidi Resahkan Warga
Next post ETK dari Rembang dan Blora Bergerak ke Pati

Tinggalkan Balasan

Social profiles