Eddy Siswanto; Menyarikan Kembali Sejarah Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia

Eddy Siswanto dan foto sebuah apotek sudah ada sejak 1930, yaitu Apotek Glodok Jakarta.(Foto:SN/dok)


SAMIN-NEWS.COM  SEBELUM merunut dan melanjutkan kembali perjalanan sejarah Tionghoa peranakan dalam Pergerakan Nasional Menuju Indonesia Merdeka dan Berdaulat, sedikit kita gambarkan bahwa domisili mereka terbesar tentu di Jawa, terutama Jakarta (Batavia). Sehingga masa di abad 19 tersebut pusat perekonomian dan perdagangan pun berkembang cukup pesat.
Dengan kekuasan di tangan kolonial Hindia  Belanda, sudah barang tentu ada kecenderungan memberi ruang dan tempat para peranakan Tionghoa ini untuk berpartisipasi dalam politik. Akibatnya, di kalangan mereka pun terbentuk identitas yang mendua, sehingga orientasi politik kaum peranakan terbelah.
Hal itu wajar terjadi dalam kehidupan di mana saja, sehingga sikap politik mereka tidak berbeda jauh dengan kondisi republik sekarang dengan multipartai yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Keterbelahan sikap politik kaum peranakan waktu itu tidak hanya dua, tapi sampai tiga kelompok karena kuatnya pengaruh identitas budaya mereka.
Apalagi dengan muncul dan terbitnya koran selain  Sin Tit Po juga terbit pula koran Sin Po yang menjadi pelopor penyuara aliran pertama. Yakni, mereka yang berpandangan sekali pun peranakan Tionghoa lahir, makan, minum, besar dan berdagang di sini turun temurun sampai berabad-abad tapi mereka merasa tidak pernah bisa melepas ikatan budaya dengan negeri leluhurnya, Tiongkok.
Dengan kata lain, bahwa orientasi politik golongan pertama ini tetap mengarah kepada negeri leluhurnya, tapi yang mendapat dukungan cukup besar dari elite peranakan justru golongan kedua. Yaitu kaum peranakan yang mendapat pendidikan Belanda sehingga di dalamnya termasuk lapisan elite birokrasi.
Khusus yang ini tentu para opsir Tionghoa, sehingga kalangan mereka disebut kelompok Chung Hwa Hui, dan ujung-ujungnya pun mengikuti apa yang dilakukan tokoh terkemuka dalam Pergerakan Nasional Kemerdekaan yang juga pendiri koran Sin Tit Po, Liem Koen Hian dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Sedangkan partai yang didirikan golongan kedua tersebut sama namanya dengan kelompoknya, Chung Hwa Hui.
Karena orientasi politik golongan kedua itu cenderung mengarah pada koloni Hindia Belanda maka sikap mereka pun cenderung berpihak kepada pemerintah kolonial. Kelompok ini juga banyak kita temui sampai sekarang, karena mereka menginginkan kelompoknya dalam posisi aman dan mudah dalam mengurus segala urusan kepentingannya, serta paling tidak bisa merasakan enaknya bagian roti yang diberikan.
Risikonya, jika hanya sekadar diejek dan dicela oleh pihak kaum nasionalis Indonesia sikapnya tentu menganut pepatah  biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Karena yang penting bagi kelompok ini, adalah tetap dalam posisi aman dan nyaman di tengah-tengah kelompok kaum nasionalis yang tengah terus berupaya dan berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonsia, sehingga dukungan pun cukup besar.
Berbeda dengan orientasi politik kelompok ketiga, sebagaimana yang ditunjukkan tokoh Leim Koen Hian yang harus memilih bergabung dan bekerja sama dengan kaum pergerakan nasionalis. Dasar pemikirannya jelas dan tegas, sehingga orientasi politiknya pun tidak ragu dan gamang bahwa kendati sebagai kaum peranakan, tapi merasa sebagai putra pertiwi.
Sebab, mereka lahir dan besar serta menghirup udara kehidupan di negeri ini, maka ketika pertiwi ini memanggil untuk berjuang menuntut hak kemerdekaan dari kolonial, maka berjuang dengan penuh risiko adalah pilihan dan harga mati. Karena itu slogan tentang NKRI harga mati, untuk implementasinya sekarang tentu bisa mengacu pada sikap kelompok Liem Koen Hian.
Mereka sadar akan risiko atas pilihannya yang terang-terangan berpihak kepada negeri tempat mereka dilahirkan, Indonesia. Apalagi jika risiko atas pilihan sikap tersebut hanya dicap  anti-kolonial Belanda sehingga hal itu hanya harga termurah yang harus mereka bayar demi terwujudnya sebuah kemerdekaan, karena kelompok atau aliran politik ini tetap mengagungkan budaya leluhur,  di mana bumi dipijak di sanalah langit harus dijunjung (bersambung) 
Previous post Pasar Daerah Terus Berbenah; Pasar Puri Tahun Depan
Next post Dinas Pertanian Siap Keluarkan Rekomendasi Kelompok Tani Beli Solar Bersubsidi

Tinggalkan Balasan

Social profiles