Mbah Wagiman;Sadar Apa Itu Perbedaan

Salah satu tetua Sedulur Sikep di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Mbah Wagiman.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM  SOSOK kakek yang satu ini bagi siapa pun hanya bisa mengira-ira, berapa usianya. Karena siapa pun yang bertanya tentang hal itu, jawabannya bukan hal klise karena dia  merasa bahwa umu yang dimiliki itu hanya satu, tapi untuk selamanya saat masih memgenyam kehidupan di dunia.
Itulah salah satu tetua Sedulur Sikep, di Dukuh Karangmalang, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Mbah Wagiman  yang selama ini ternyata bisa bergaul dengan siapa saja yang mengajaknya berkomunikasi. Sehingga bahasa kerennya, dia bukanlah dari kalangan kelompok Sedulur Sikep atau lazim disebut kelompok Samin yang eksklusif.
Karena itu, katanya, dia sadar apa itu perbedaan di antara sesama atau orang Jawa menyebutnya papak ora padha. Jika diiarik dalam konteks pemamahan yang panjang kira-kira menurut kakek ini, beda dalam hal apa pun itu memang isen-isen ndonya, sehingga tidak perlu saling menyinggung ‘‘Merga ana unen-unen, nek kowe dijiwit krasa lara ya aja njiwit liyan.

Maka, masih kata dia, Sedulur Sikep itu punya angger-angger (patokan) sikap dalam hidup ini, yaitu weroh weke dhewe, atau orang Sikep itu tahu miliknya sendiri. Sehingga tidak perlu jrengki, srei, tukar padu, dahwen, kemeren lan aja nyia marang sepada yang semuanya bisa dijalani di tengah-tengah maraknya kehidupan yang serba materialistis dan egois.

Selain angger-angger  tersebut, Mbah Wagiman juga sering bergaul dengan kalangan orang-orang yang menggeluti olah rasa, utamanya para seniman kjiwanya butuh ketehususnya seni pertunjukan, baik ketoprak maupun wayang. Kesenian tayub, dia juga tidak menolak karena hati ini butuh dihibur agar tidak kering, dan hiburannya tentu dari hasil olah rasa para pelakunya.
Dengan demikian, dari situlah dia bisa lebih memahami perbedaan sehingga tidak perlu harus padudon dengan sepada, apalagi kok sampai menyia-nyiakan. Sebab, orang hidup itu jiwanya butuh ketenangan dan ketentraman, karena pada suatu saat siapa pun pasti akan salin sandangan (meninggal), sehingga tidak boleh merasa akan selalu terus menerus memakai sandangan.

Berdasarkan hal-hal seperti, kita sadar bahwa selamanya manusia itu harus selalu berbaik dengan siapa saja, dan juga harus bisa dan memahami apa itu perbedaan. Karena itu, jangan ada yang merasa lebih dari yang lain mengingat suatu saat juga harus sama-sama salin sandangan, dan dari sisi itu saja siapa pun tidak sulit memahami.
Apalagi, jika menyangkut apa yang harus dilakukan sebagai orang tua, tentu tidak lain harus bisa nuturi anak-cucu. ”Bagi kami hal tersebut tak lain, jadi orang itu jangan jrengki, srei, dahwen, panasten, kemeren, aja ngutil, pethil jumput, mbedog, nyolong, karena menemukan barang milik orang lain saja harus kami hindari.”(Ki Samin)
Previous post Pelaksanaan Pekerjaan Peningkatan Ruas Jalan Berbiaya Miliaran Rupiah
Next post Proyek Peningkatan Ruas Jalan Berbiaya Miliaran Rupiah

Tinggalkan Balasan

Social profiles