SAMIN-NEWS.COM JIKA sejarah itu identik cermin kekuasaan pada masanya hal itu pasti akan memberi warna abu-abu atas kejujuran dan kebenarannya, karena di sisi lain rakyat pun mempunyai catatan tersendiri meskipun hanya sekadar dalam bentuk tutur. Sehingga sampai kapan pun untuk bisa mewujudkan warna sejarah yang bena-benar hitam-putih, apa adanya tentu dibutuhkan kemauan baru antara penguasa dan rakyatnya.
Konsekuensinya, antara catatan-catatan yang warna abu-abu dan yang aneka warna lainnya harus disandingkan agar memunculkan warna sejarah yang dominan, hitam-putih. Akan tetapi hal itu bukan berarti harus membangun kembali komiten, untuk mempertahankan warna-warni masing-masing karena selamanya hanya akan memunculkan perdebatan tanpa ujung-pangkal.
Hal itu tak beda jauh, jika hari ini 7 Agustus Pati meletakkan titik awal berdirinya sejak hampir 6,5 abad lalu, atau disebut-sebut dengan bilangan angka 1323. Sebab, momentumnya mengambil angka tahun perpindahan pusat pemerintahan dari Kemiri, Desa Sarirejo, Kecamatan Kota Pati ke Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor hingga sekarang.
Pada masa itu, sebagai Adipati juga disebut-sebut sebagai Raden Tombronegoro, konon putra Raden Kembang Joyo yang konon disebut-sebut pula sebagai putra Sunan Muria, Said Kusumastuti. Sedangkan Raden Tombronegero juga disebut-sebut hanya berputra satu, Raden Tondonegoro yang memerintah sebagai Adipati Tahun 1330.
Sebutan angka tahun berdirinya Pati dari momentum perpindahan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan tersebut, tentu hampir bersamaan dengan pusat kekuasaan kerajaan terbesar masa itu, Mojopahit (1293 – 1575). Dengan demikian, masa itu kekuasaan kerajaan tersebut di bawah Perempuan Raja Tribuana Tungga Dewi dengan Maha Patih Gajah Mada.
Akan tetapi masa kejayaan Mojopahit, terjadi pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk (1350-1389). Pertanyaannya, untuk masa kejayaan Kadipaten Pati terjadi pada masa pemerintahan Adipati siapa, karena setelah di bawah Adipati Tondonegoro konon tidak ada catatan lagi tentang kadipaten ini, karena Tondonegoro tidak berputra, sehingga sejak meninggalnya tidak ada lagi penerus kekuasaannya.
Karena itu, catatan 7 Agustus 6,5 abad lalu yang menetapkan berdirinya kadipaten ini mari sama-sama kita lewati, tanpa harus diwarnai dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabnya pasti tanpa ujung-pangkal. Yakni, benarkah itu catatan sejarah dengan warna abu-abu atau hitam-putih, karena selama ini pula tidak ada kemauan kita untuk mengurainya secara bersama-sama.
Hanya saja, catatan sejarah yang hari ini diperingati karena mempunyai ligitimasi milik kekuasaan, dan catatan-catatan lainnya berada tercecer di luar garis tersebut. Di antaranya, Pati yang mempunyai struktur pemerintahan sebagai sebuah kadipaten ketika sosok seorang Penjawi (1549) disebut-sebut menerima mandat dari Sultan Pajang, Hadi Wijoyo harus menuju ke Pati.
Itu pun dipertegas lagi oleh penguasa Pajang dalam Sarasehan Bagelen 13 tahun kemudian (1562), bahwa Ki Ageng Penjawi harus benar-benar menuju ke Pati,. Saat itu tengah berlangsung musim kemarau panjang, agar Pati segera digulawentah, barulah Ki Ageng Penjawi bersama rombongan kecil, termasuk putra keduanya, Wasis berangkat menuju Pati.
Sudah barang tentu, tempat yang dituju adalah Kemiri karena di tempat tersebut sudah berdiam adik perempuannya, Nyi Ageng Kemiri yang konon juga disebut-sebut Roro Jenar bersuamikan Ki Ageng Kemiri, Djosari. Sehingga nama ini sebagai cikal bakal munculnya nama desa Sarirejo hingga sekarang.
Pertanyaannya, mengapa Ki Ageng Penjawi baru menuju ke Pati setelah 13 tahun sejak selesainya konflik antara Pajang dengan Jipang Panolan, karena Ki Ageng Pemenahan yang konon disebut-sebut mendapat hadiah Alas Mentaok atas jasanya menuntaskan konflik tersebut, tapi sampai saat itu belum diserahkan secara resmi oleh Sultan Pajang. Dengan demikian, Ki Ageng Penjawi pun merasa belum saatnya menuju ke Pati, sampai ada dawuh dari Sultan Pajang dalam kesempatan di Sarasehan Bagelen.
Berdasarkan pemahaman tersebut, catatan yang tercecer itu juga lebih baik kita lewatkan karena hanya bisa disebut cerita tutur. Sehingga sama sekali tidak ada legitimasi bila dibanding hari ini, 7 Agustus yang diperingati sebagai Hari Jadi Pati, sehingga warna abu-abunya pun tetap melekat. Entah sampai kapan.(Ki Samin)