Ramainya pekerja bongkar-muat di salah satu gudang Bulog saat berlangsung penyaluran bantuan sosial (Bansos) beras sejahtera (rastera) di Pati, dan pengecekan serapan pengadaan setara beras sebagai cadangan stok pangan nasional.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM BANTUAN sosial (Bansos) berupa beras sejahtera (Rastera) yang dibagikan secara cuma-cuma kepada kelompok penerima manfaat (KPM), di mana per rumah tangga sasaran (RTS) sebanyak 10 kilogram jika diakui secara jujur, memang belum tepat sasaran. Masalahnya, warga yang secara ukuran ekonomi keseharian mampu menyediakan kebutuhan pangan untuk keluarga juga ikut-ikutan minta bagian.
Hal itu sudah menjadi rahasia umum, bahwa kesadaran atas hak yang diberikan oleh pemerintah karena merasa sama-sama sebagai warga negara maka menganggap sama-sama mempunyai hak atas bantuan pemerintah tersebut. Padahal dari alokasi bantuan itu pun tertera jelas, yaitu bantuan sosial (Bansos), tapi di tingkat pelaksanaannya justru menimbulkan permasalahan sosial.
Di sisi lain, pada tingkatan yang harus membagikan bansos tersebut, yaitu di tingkat desa tidak mempunyai ketegasan sebagaimana yang sudah dialokasikan. Dengan kata lain, di tingkatan ini hanya demi amannya saja, dan sikap seperti itu sudah berlangsung sejak penyediaan bantuan beras murah atau yang dikenal dengan beras untuk orang miskin (raskin).
Catatan-catatan permasalahan sosial yang selalu muncul akibat penyedia data kelompok penerima manfaat (KPM) bansos maupun raskin oleh pihak BPS yang tidak valid, dan sikap ingin aman di tingkat pembagian (desa), akhirnya pemerintah pun mengubah pola penyaluran bantuan tersebut. Dengan demikian, September nanti adalah batas terakhir penyaluran Bansos Rastera yang selama ini disuplai oleh pihak Bulog sebagai penyangga stok pangan nasional.
Secara politis yang ikut mewarnai penyaluran bantuan tersebut, akhirnya diganti dengan bantuan pangan nontunai (BPNT), dan KPM penerima bantuan tiap bulan sebesar 110.000 dalam bentuk natura beras dan telur itu untuk pengambilannya dengan cara menggesek kartu di warung-warung agen yang ditunjuk. Pelaksanaan operasional BNPT bantuan itu telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah pusat, yakni sebuah lembaga perbankan yang sudah barang tentu milik pemerintah.
Dengan alasan lain agar tidak terjadi monopoli dalam penyaluran bansos oleh Bulog yang bertahun-tahun sudah cukup berpengalaman ibarat dalam makan asam dan garam di dunia perberasan, atau penyedia dan penyangga stok pangan nasional, maka mulai penyaluran Oktober nanti Bulog sudah di luar garis. Artinya, penyaluran bantuan dalam bentuk natura bahan pangan itu sepenuhnya di luar tanggung jawabnya.
Pertanyaannya, kendati lembaga perbankan mampu menyediakan pembayaran kepada pihak penyedia natura tersebut dari sisi keuangan , tapi bagaimana tentang kemampuan dalam menyikapi situasi pasar. Apalagi, jika pemasok natura untuk keperluan tersebut diserahkan kepada mekanisme pasar sudahkah lembaga perbankan tersebut menyiapkan upaya untuk mengantisipasinya.
Sebab, keserakahan pasar itu mempunyai mata rantai cukup panjang untuk menjerat siapa saja pelaku yang tidak siap. Lebih jelasnya, penyuplai bahan pangan beras dan telur untuk keperluan bansos bagi para KPM jika untuk menghindari monopoli, tentu dibuka secara bebas dan seluas-luasnya karena yang harus dilayani adalah KPM di seluruh wilayah republik ini yang jumlahnya pasti mencapai jutaan.
Jika tugas penyedia natura untuk BPNT tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pasar, maka sudah pasti akan terjadi persaingan terbuka di antara para pelakunya. Dengan demikian, saling berebut pengaruh dan melakukan permainan serta manuver-manuver pasar yang asosial pasti tak bisadihindari.
Itulah sebuah risiko kebijakan yang lahir karena tekanan atmosfir kepentingan, utamanya kepentingan politik yang selama ini menjadi mahadiraja di republik ini. Semoga saja untuk urusan perut KPM yang notabene adalah kumpulan orang-orang dengan status kurang mampu itu tidak demikian adanya.(Ki Samin)