Baca Ulang Bersama-sama Prasasti Tuhanaru di Museum Trowulan

Atas makam yang disebut-seut sebagai Adipati Pati Tambranegara dan bawah sederetan makam lainnya, di Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota Pati. Makam tersebut pernah direhab (1995) ketika Bupati Pati dijabat oleh Sunardji (alm).(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  PATI-Pokok pangkal penyebutan bahwa Adipati Tambranegara pernah hadir di Pisowanan Agung Kerajaan Majapahit pada 13 Desember 1323 atau masa pemerintahan Raja Jayanegara, adalah mengacu pada isi Prasasti Tuhanaru, di Desa Sidateka. Prasasti berupa 8 lempengan baja tersebut, kini tersimpan di Museum Trowulan, Majakerto, Jawa Timur.
Untuk menguji kejujuran apa yang dicatat oleh Tim Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati, agar perdebatan dan polemik tidak semakin liar, maka akan lebih bijak jika siapa saja yang merasa punya kepedulian terhadap Sejarah Pati, bertindak sebagai perwakilan diri masing-masing. Tujuannya, tak lain untuk bersama-sama datang ke museum tersebut.
Dengan demikian, bisa secara bersama-sama minta ke pihak museum untuk membaca ulang bunyi prasasti itu. Akan lebih baik lagi, jika di antara yang bersedia sebagai perwakilan membaca bersama-sama itu ada yang ahli di bidangnya, untuk membaca huruf Jawa kuna, sehingga menjadi jelas dan gamblang dalam memulai membaca kebenaran sejarah.
Pasti yang menjadi pertanyaan, dari mana sumber dana untuk kepentingan itu? Jawabnya pun mudah dengan cara menghimpun iuran untuk membiayai transportasi, dan kepentingan lain selama berada di Trowulan, dan untuk menuju ke museum tersebut paling lama bisa ditempuh dalam waktu lima jam sehingga bisa berangkat dari Pati pukul 22.000 menempuh perjalanan malam hari.
Jika masing-masing mempunyai kemauan yang sama, atau syukur di antara mereka seperti dari sekolah atau lembaga terkait menunjuk perwakilannya. Itu baru namanya ada kepeduoian yang tidak hanya sekadar omong belaka, karena kalau prasasti itu sudah dibaca bersama-sama,  hal itu sama saja dengan membaca fakta sejarah.
Hal tersebut mengingat, sejarah itu adalah catatan peradaban yang rentang waktunya teramat panjang sehingga harus dihindarkan dari kebohongan-kebohongan sampai mendarah daging. Jika hal itu yang terjadi, maka selamanya kebohongan dan keculasan menjadi bagian yang akan terus mengalir sepanjang zaman.
Menilik catatan-catatan yang dihimpun pihak yang merasa punya kepentingan terhadap sejarah Pati, termasuk Tim Penyusun yang personelanya kebanyakan sudah almarhum, seperti di antaranya salah seorang wartawan tiga zaman di Pati. Yakni, Mbah Sarikoen Hadisoepadmo, hal itu tentu tidak masalah karena yang dimasalahkan memang hasil catatannya.
Tak beda jauh dengan hasil penulisan Buku Babad Pati yang menuliskan, bahwa sebelum penyebutan nama Pati adalah Pesantenan, memang nama tersebut demikian adanya. Sebenarnya pada pijakan awal langkah tim itu sudah menyebutkan, bahwa penyusunan Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati, adalah berdasarkan kesepakatan yang bertitik tolak dari beberapa gambar pada lambang daerah.
Lambang tersebut sudah disahkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 1971, dan gambar dimaksud tak lain berupa Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigara. Kedua benda tersebut diyakni sebagai sifat kandel Kadipaten/Kadipaten Pati, sebagaimana tertulisdalam cerita Babad Pati maupun babad lainnya.
Sedangkan benda pusaka tersebut meskipun tidak ada yang pernah melihatnya secara langsung, tapi hal itu dianggap melambangkan kekuasaan dan kekuatan daerah ini. Selebihnya juga dianggap merupakan simbol kesetiaan, persatuan dan kesatuan.(sn-bersambung)
Previous post Apel Gelar Pasukan Ops Mantab Brata Candi 2018
Next post Cek Kelengkapan Logistik Kesiapan Hadapi Pemilu Tahun 2019

Tinggalkan Balasan

Social profiles