Eddy Siswanto dengan foto dokumentasi bangunan kuna di Batavia yang kepemilikannya berada di bawah para peranakan etnis Tionghoa karena keberhasilannya mengelola usaha dagang di Indonesia.(Foto:SN/aed/dok)
SAMIN-NEWS.COM TERBELAHNYA menjadi tiga paham aliran politik di kalangan Tionghoa peranakan Indonesia pada masa itu, maka yang menjadi sorotan pemerintah kolonial tentu kelompok ketiga, di mana di dalamnya ada nama Liem Koen Hian. Sosok tokoh pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini memang bergabung dengan kelompok pergerakan nasional yang terus berupaya mewujudkan cita-cita Kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi di sisi lain, partai yang berdiri jauh sebelum PTI atau pada sekitar Tahun 1926, Partai Komunis Indonesia (PKI) juga sudah ada, dan pendirinya sudah barang tentu para peranakan etnis Tionghoa.. Bahkan partai ini juga melakukan perlawanan hebat terhadap pemerintah kolonial yang sejak kedatangannya untuk berdagang, tapi berubah menjadi penjajah dan penguasa.
Dari catatan sejarah pada masanya, tokoh-tokoh PKI peranakan ini terdapat nama-nama seperti Tjoe Tong Hin, Liem King Hien, Lie Tiang Pik, Tjan Tok Gwan, dan Tan Thoan Kie yang usianya rata-rata masih sangat muda antara 20-30 tahun. Resiko perlawanan yang dilakukan partai ini, tak beda jauh dengan perlawanan yang dilakukan kelompok pergerakan nasional.
Hanya tokoh PKI bernama Pwa Tjing Hwie tercatat paling tua usianya, yaitu 43 tahun, dan Tahun 1927 para tokoh partai ini ditangkap pemerintah kolonial. Selanjutnya mereka dibuang ke Tanah Merah, Digoel, tapi partai dengan kiblat komunis Beijing tersebut tidak pernah surut untuk terus berupaya dengan berbagai propagandanya. Sehingga dengan para tokoh pergerakan nasional pun harus bersinggungan, dalam upaya menunjukkan kekuatannya,
Kondisi politik dengan kemunculan sejumlah partai lainnya, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga Nahdlatul Ulama (NU), maka perbedaan paham dan tujuan dalam berpolitik pun tak bisa dihindari. Sampai pada akhirnya Jepang datang di Indonesia (1942), dan ternyata juga sebagai kolonial, maka masing-masing partai politik selain membuat gerakan juga melakukan perlawanan.
Tercatat bulan Maret 1945, lahir dan muncul Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dari Tionghoa peranakan ada 7 tokoh yang berada di dalam komite tersebut, 4 di antaranya dari Jawa Timur yaitu Yap Tjwan Bing (Madiun), Oey Hway Kiem (Bondowoso), Tan Boen An (Kediri), dan Siauw Giok Tjhan (Malang)
Sedangkan tiga anggota komite lainnya dari Jakarta, yaitu Liem Koen Hian, Inyo Beng Goat dan Tan Po Goan. Kendati dengan tujuh anggota KNIP tapi masih ada yang merasa belum cukup, karena belum ada perwakilan dari partai yang harus ikut bergabung di dalamnya , karena itu keanggotaan KNIP pun ditambah lagi.
Akan tetapi untuk tambahan harus dari partai, yaitu Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat wakil dari Partai Sosialis. dan satu orang lagi, Lauw Khing Hoo dari PKI. Satu di antara KNIP yang ada di dalam BPUPKI kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu wakil dari Jawa Timur (Madiun) Yap Tjwan Bing ikut mensahkan dan mengantarkan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Selain itu yang bersangkutan juga ikut mensahkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonsia, sebagai negara yang berdaulat atas kemerdekaannya. Kendati perjalanan etnis peranakan Tionghoa dalam sejarah ini juga harus mengalami kegetiran demi kegetiran, atas hal itulah sebenarnya banyak ikut berperan dalam mengantarkan kemerdekaan bangsa di republik ini..
Jika bicara dari keterlibatan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu masih belum cukup, kita sebenarnya juga mencatat seorang tokoh maritim yang mempunyai andil besar dalam membakar dan menanamkan semangat kebangsaan di kalangan pemuda Tionghoa. Dia adalah Mayor Laut John Lie alias Yahya Daniel Dharma (bersambung)