Kiai Happy Irianto dan para santri membubuhkan tanda tangan pernyataan dukungan penyelenggaraan Pemilu damai yang menjadi tuntutan bersama dalam aksi oleh Koalisi Masyarakat Pati Aman Kondusif (KOMPAK), di Alun-alun Simpanglima Pati, kemarin.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Dalam berdemokratisasi siapa pun mereka, dan dari kelompok kepentingan politik apa saja seharusnya tumbuh kemauan untuk tetap belajar. Yakni, belajar tidak menggunakan cara maupun model berpolitik uang, dan apalagi model berpolitik harus membayar mahal.
Akan tetapi sampai sekarang hal itu selalu menjadi model pilihan setiap berlangsung apa yang disebut pesta demokrasi, dan itu pun terjadi di semua tingkatan. Sehingga harga hak berdemokratisasi rakyat ini selamanya tergadai hanya karena nilai nominal yang tak seberapa, karena nilai terbesar untuk keperluan itu sudah tersedot membayar mahal.
Kiai Happy Irianto menyampaikan hal itu di tengah-tengah suasana aksi menuntut penyelenggaraan Pemilu damai yang dimotori Koalisi Masyarakat Pati Aman Kondusif (KOMPAK), di kawasan Alun-alun Simpanglima Pati, kemarin. Jika politik uang dan mahar menjadi pola pilihan, katanya, selamanya tidak akan pernah bisa menghasilkan pemilu berkualitas.
Sebab, kalangan politisi, terutama para pelaku politik praktis dalam berdemokratisasi hanya dengan satu tujuan, yaitu harus menang dan upaya untuk bisa meraih kemenangan tersebut biasanya menghalalkan segala cara. ”Satu di antaranya adalah membagikan uang meskipun
sudah diatur tentang larangannya, tapi hukum tidak pernah bisa menyentuhnya karena selalu terbentur asas praduga tak bersalah,”ujarnya.
Karena itu, masih kata Kiai Happy Irianto, untuk menghentikan kebiasaan bermain buruk dalam berdemokratisi tersebut, hanya ada satu. Yakni, semua unsur yang terlibat dalam proses pemilu harus berkomitmen untuk tidak melakukan hal itu, tapi itu hanya mudah untuk sekadar diucapkan tapi upaya gtersebut selamanya tetap akan jauh panggang dari api.
Maksudnya, selama tidak ada kemauan untuk tidak berpolitik uang dan mahar kualitas pemilu di republik ini tak akan pernah bisa terbebas dari hal yang sifatnya sudah menjadi rahasia umum tersebut. Padahal, dari pemahaman sederhana saja seharusnya bisa dicerna bahwa pemilu itu adalah sebuah pestanya rakyat dalam berdemokrasi.
Dari penbyebutan kalimat pesta tersebut seharusnya rakyat dengan berswadaya membiayai siapa sosok yang layak untuk dijagokan dalam persaingan untuk bisa meraih kememangan. Akan tetapi, budaya politik di republik ini justru terbalik, karena calon harus tampil untuk bisa menang maka berapa pun harga nominal yang harus dibeli tidak masalah.
Akibatnya, ketika calon yang menang menang dalam kontestasi politik tersebut seperti di kancah legislatif, yang terpilih dan menduduki kursi sebagai Wakil Rakyat tersebut sekali tidak mempunyai ikatan emosional dengan para konstituennya. ”Apalagi, faktanya selama ini para Wakil Rakyat banyak yang lebih senang memanfaatkan aji mumpung,”imbuhnya.(sn)