Sejarah Kelam Suku Bangsa Tionghoa Jauh Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan. Disarikan Kembali dari Beberapa Sumber oleh Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie)

Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie) atau Raja Air Mengalir dalam salah satu rangkaian ritual menyambut datangnya Tahun Bari Imlek di Kelenteng Hok Tik Bio Pati dan dokumen foto lama kondisi Pantjoran, Batavia di Tahun 1930.(Foto:SN/aed/dok)

SAMIN-NEWS.COM  SEJAK  terbunuhnya 50 pasukan Belanda dan dibantainya buruh pabrik gula pribumi yang mayatnya ditenggelamkan di laut oleh pasukan kolonial, berikutnya muncullah dasas-desus bahwa para pekerja pabrik gula dari suku bangsa Tionghoa benar-benar kejam. Memang benar yang membunuh sekitar 50 pasukan Belanda adalah mereka.
Hal itu dilakukan semata-mata dilakukan karena mereka tidak tega melihat pembantaian terhadap sesama buruh pabrik gula, meskipun beda suku. Akan tetapi pembiaran terhadap kekejaman tersebut tak boleh terjadi lagi, sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan perbuatan keji itu kecuali ganti membantai para pelakunya.
Bermula dari ini, risiko yang harus dihadapi para buruh pabrik gula peranakan suku Tionghoa menjadi berkepanjangan akbiat desa-desus yang sengaja diembuskan pihak pemerintah kolonial. Sebab, etnis lain  di Batavia yang terprovokasi  desas-desus tersebut mulai tersulut emosinya, sehingga pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa di sepanjang kali besar atau Kali Angke pun terjadi.
Kerusuhan juga mulai meluas  ke mana-mana, dan pertempuran-pertempuran kecil berlangsung di mana-mana. Pada awalnya hal itu terjadi di wilayah pinggiran kota, tapi akhirnya pasukan Belanda itu menerang barak Tionghoa yang ada di setiap pabrik gula di Batavia , dan mereka pun dibantai sehingga yang selamat dan bisa menyelamatkan diri mengungsi ke Bekasi.
Dari jumlah 10.000 suku bangsa Tionghoa ini yang selamat  jumlah dan data angkanya simpang-siur karena ada yang menyebutkan hanya sekitar 600 orang, tapi ada pula yang menyebutnya 3.000 orang, karena pada masa itu untuk mencari kebenaran informasi tentu lebih sulit dibanding kondisi sekarang.
Akan tetapi di tahun berikutnya di Pulaiu Jawa terjadi perang selama kurang lebih dua tahun, dan antara suku Jawa dan Tionghoa  justru bergabung untuk berperang melawan Belanda. Waktu itu Dewan Belanda (Raad  Van Indie) bersama Badan Vereenigde Ostindische Compagnie (VOC) bertemu Gubernur Jenderal Adrian Valckenier.
Gubernur tersebut justru menyarankan dan menyampaikan pendapat bahwa kerusuhan apa pun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan, yaitu pembantaian. Kendati dari jenderal itu menyampaikan pengumuman tentang pemberian pengampunan kepada siapa saja yang melakukan perwalanan, tapi hal itu sama sekali tidak mendapat tanggapan.
Bahkan perang kecil-kecilan terus berlanjut di mana-mana, di mana pasukan dari suku Tionghoa yang bergabung dengan suku Jawa terus melakukan perlawanan. Sampai akhirnya Gubernur Jenderal Adrian Valckenier pun dipanggil pulang ke negaranya, dan kedudukannya digantikan oleh Gustaaf Willem Van Imhoft.
Dampak terjadinya peristiwa Geger Pacinan ini, mengharuskan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier pun diadili dan diharuskan bertanggung jawab terhadap pembantaian yang terjadi. Akan tetapi, peristiwa tersebut tentu menyisakan kepedihan bagi suku bangsa Tionghoa peranakan ini karena harus kehilangan anggota keluarganya (bersambung)
Previous post Masih Banyak Desa Belum Mengajukan Proposal Program Nata Praja
Next post Pati Selenggarakan Ruwatan Massal di TMII

Tinggalkan Balasan

Social profiles