Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie)/Si Raja Air Mengalir yang menaruh kepedulian kepada warga kurang mampu dengan membagikan beras bersamaan rangkaian acara Sembayang Arwah di Kelenteng Hok Tik Bio Pati, beberapa waktu lalu.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM BUKAN bermaksud mengeksploitir secara vulgar kekelaman sejarah Suku Bangsa Tionghoa Peranakan Indonesia, sejak jauh sebelum dan sesudah Kemerdekaan RI, di mana tokoh terkemuka peranakan Liem Koen Hian bersama yang lain terlibat dalam Pergerakan Nasional Kemerdekaan, tapi hal itu hanya menggambarkan perjalanan sejarah bangsa di republik ini.
Sebab, masih banyak kekejaman-kekejaman dan kekelaman lain yang harus dialami secara beruntun mekipun dalam rentang waktu kadang terlalu berdekatan, tapi jarak waktu tersebut cukup jauh. Sebagaimana kembali terjadinya kerusuhan di Solo, justru kembali terjadi di bulan September 1945, atau belum genap republik ini berstatus sebagai negara merdeka, meskipun banyak negara yang mengakui kedaulatannya.
Di tengah-tengah euforia warga bangsa ini menikmati kemerdekaan sejumlah orang di Solo ini justru melakukan aksi demo. Mereka menentang upaya pendirian Pemerintah Swapraja (pemerintahan sendiri). Semula aksi demo itu hanya dilakukan terbatas oleh kalangan tertentu di jalan-jalan yang mebjadi pusat keramaian.
Hal itu dinilai sebagai kemunculan kekuasaan feodal di Surakarta yang tidak menunjukkan niat mereka menukung proklamasi yang baru diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta. Karena itu kelompok ini menunjukakan kekuatannya dengan melakukan aksi anti pemerintahan Swapraja dengan menghancurkan dan merobohkan simbol-simbol feodalisme, di antaranya adalah Ndalem Kepatihan.
Tidak hanya cukup sampai di situ, karena kekacauan dan kekerasn pun menyebar ke pusat-pusat perekonomian. Sehingga orang-orang yang dianggap tidak memiliki rasa nasionalisme, dan dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial mebadi sasaran.
Demikian pula, tanpa alasan yang jelas etnis Tionghoa yang pada awalnya tidak tahu menahu tentang hal itu pun justru menjadi sasaran utama dakam peristiwa ini. Banyak toko dan rumah mereka dijarah, dibakar hingga tinggal puing, maka penyebutan paling tepat dalam peristiwa tersebut adalah sebuah penghancuran.
Namun hal itu masih boleh disebut beruntung, karena rusuh ini bisa segera dikendalikan oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Berikutnya adalah konflik rasial yang juga terjadi di Solo yang menurut catatan sejarah terjadi di antara Tahun 1950 s/d 1966, dan hal itu juga menjadi salah satu pemicu konflik lainnya.
Swbagaimana konflik di Tahun 1950, di mana waktu itu Nederlandsche Indische Poorweg Maatschappij yang tak lain adalah Persahaan Kereta Api Belanda di Indonesia di Stasiun Balapan. Perusahaan ini tidak mengizinkan tenaga kerja mereka bergabung dengan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesa (SOBSI).
Akibatnya gelombang protes dan pengrusakan tak bisa dihindari, karena merewka didukung gerakan buruh sayap kiri. Sehingga perusakan dan penghancuran fasilitas stasiun pun berlangsung, maka etnis Tionghoa pun dianggap sebagai buruh sayap kiri, maka sasaran kekekarasan terhadap mereka tak bisa dielakkan lagi (bersambung)