Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie) Si Raja Air Mengalir dan Kiai Happy Irianto dalam Komunitas Gusdurian, serta persiapan rangkaian penyambutan Tahun Baru Imlek di Kelenteng Hok Tik Bio Pati.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM BERAKHIRNYA pembantaian etnis Tionghoa keturunan Indonesia dalam Perang Jawa (1825-1830) di Ngawi, Jawa Timur, ternyata belum berakhir sejarah kelam memilukan suku bangsa ini. Hal itu justru mengawali munculnya rasa takut dan trauma yang berkepanjangan di kalangan mereka, sehingga upaya berlari menyembunyikan diri adalah pilihan utama, sekaligus upaya menutup kebersamaan yang pernah berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa.
Hal sama juga muncul di kalangan etnis Jawa yang mulai menjauhkan diri dari etnis Tionghoa, karena dianggap sebagai pemeras karena perilaku mereka sebagai pemungut pajak di mana-mana dengan sering menggunakan kekerasan terhadap etnis Jawa. Padahal itu hanyalah ulah sekelompok orang, dan justru mendapat perlindungan dari penguasa kerajaan di Jawa, dan juga oleh pemerintah kolonial.
Dampak dari pemberian perlindungan tersebut, akhirnya menjadikan kebiasaan kebanyakan kalangan etnis suku bangsa ini yang harus jeli dalam memanfaatkan situasi. Apalagi, jika tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melindungi kepentingan usahanya, serta mencari perlindungan jika harus menghadapi ancaman dari pihak lain.
Dengan kesediaan pihak penguasa yang mudah tergoda oleh iming-iming imbalan yang menggiurkan, maka apa yang disebut backing pun akhirnya membudaya. Akibatnya, kebencian terhadap etnis Tionghoa ini sulit untuk terhapus dari perjalanan sejarah mereka, sehingga kecurigaan selalu melekat di kalangan etnis, utamanya Jawa.
Apalagi, sebagai suku bangsa yang ulet, pekerja keras, dan tahan banting justru dikotori sendiri oleh kelompok kecil yang berlaku culas dan curang dalam banyak hal, utamanya dalam mengelola kegiatan usaha. Sehingga dalam sejarah panjang kekelaman suku bangsa ini, mereka tak lebih sebagai sapi perahan oleh para penguasa pada masanya.
Jika ada upaya untuk mengakhiri kondisi yang selalu dikaitkan dengan permasalahan rasial itu, adalah saat Abdurrachman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI di Tahun 2000. Akan tetapi, dalam catatan ini untuk mengkilas kembali sejarah kelam suku bangsa Tionghoa ini adalah rangkaian peristiwa rasial yang secara periodik dan dalam kurun waktu tertentu selalu muncul sebagai drama kemanusiaan yang melikukan.
Seperti peristiwa Geger Pacinan di Batavia Tahun 1740 karena suku bangsa Tionghoa berhasil menguasai dan mendominasi sektor ekonomi dibanding pemerintah kolonial sebut saja VOC, Tahun 1742 di Solo juga tersulut peristiwa tak jauh berbeda. Hanya di kota ini, etnis keturanan Tionghoa Indonesia menguasai perdagangan eceran dan menjadi pedagang perantara antara orang Jawa elite pribumi yang dikendalikan oleh VOC, di pantai utara Jawa.
Dalam kondisi dan posisi seperti itu, etnis Tionghoa ini memegang peran penting karena bisa menguasai dua peran berbeda. Yakni peran sebagai importir Eropa dan VOC, serta peran dalam perdagangan dan penjualan eceran dengan masyarakat setempat, tapi hal itu benar-benar disadari atas risiko bisa mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya atau suatu saat justru harus menghadapi kebangkrutan.
Berakhirnya Geger Pacinan di Batavia dan pemerintahan Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta (1746). Sehingga di kota ini pun berlangsung bentuk pemerintahan kasunanan (1755), memang tidak lagi muncul ketegangan antaretnis, dan kondisi damai ini berlangsung lumayan lama sampai terjadinya peristiwa berdarah Bedah Kartusura, atau juga dikenal dengan Perang Kuning.
Hal itu jika tidak salah terjadi sekitar Tahun 1911, yaitu muncunya konflik antara pedagang batik pribumi di Laweyan dengan pemasok batik etnis Tionghoa. Konflik tersebut berlangsung tiba-tiba, memang tidak mengakibatkan terjadinya perusakan besar-besaran dan tidak memutuskan perdagangan antaretnis ini, tapi menjadi bagian dari rentetan peristiwa lainnya.
Di antaranya pemogokan pekerja pabrik (1920), berikutnya diikuti pula pemogokan besar-besaran oleh petugas kereta api (1923), dan pekerja pegadaian (1925). Kerusuhan dan kekacauan di Solo juga terjadi di tengah euforia Kemerdekaan RI, tepatnya di bulan September Tahun 1945 atau belum genap satu bulan sejak dikumandangkannya detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta.(bersambung)