Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie)-Raja Air Mengalir dan foto dokumen lama sebuah restoran Kamleng Pantjoran Glodok awal Tahun 1950.(Foto:SN/aed-dok)
SAMIN-NEWS.COM HUJATAN dan tebaran kebencian tampaknya sudah digariskan untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari republik ini, hanya karena pola pikir dan sudut pandang yang waton para anak bangsa. Hanya karena perbedaan sudut pandang, warna kulit, keyakinan, adat istiadat maupun budaya, setiap timbul permasalahan upaya penyelesaiannya harus selalu dibayar mahal.
Kondisi tersebut sudah melekat dan tampaknya juga merupakan pilihan di kalangan anak bangsa tanpa pernah mau belajar, bahwa sebenarnya setiap sosok individu maupun antarindividu manusia ini seharusnya tidak ada yang merasa berhak atas satu dan lainnya. Manusia satu seharusnya tidak berhak atas kematian orang lain, meskipun setiap peradaban membawa konsekuensi masing-masing.
Akan tetapi, seharusnya masing-masing mau sedikit belajar sejarah yang menjadi bagian peradaban paling jujur, agar tidak selalu mengulang-ulang kesalahan dan kebodohan yang sama sepanjang . Sehingga dalam konteks keberadaan suku bangsa Tionghoa peranakan Indonesia yang sudah digariskan sebagai bagian dari republik ini seharusnya tidak selalu menjadi sasaran tebaran kebencian.
Masa-masa sejarah pahit dan cukup kelam sebagaimana peristiwa Geger Pacinan (Oktober 1740) di Batavia, seharusnya dijadikan catatan hitam untuk disimpan dalam ingatan, dan sewaktu-waktu bisa dibaca ulang. Akan tetapi, pemikiran yang demikian tampaknya masih jauh panggang dari api karena dalam sejasejarah masih harus kembali mencatat dan mengulang hal sama.
Di antara Tahun 1825-1830 atau pada masa Perang Diponegoro melawan pemerintah kolonial, atau yang dipahami juga sebagai Perang Jawa, suku bangsa Tionghoa ini harus mengalami tragedi kemanusiaan yang memilukan. Kala itu sekitar September 1825, rombongan pasukan berkuda/kavaleri yang dipimpin seorang perempuan Ayu Yudakusuma menyerbu Ngawi.
Wilayah tersebut sekarang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, di pinggir Alur Kali Bengawan Solo. Dalam sejarah kelam tersebut mencatat pimpinan pasukan yang bersangkutan adalah putri Pengeran Mangkubumi atau yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I memerintah Kerajaan Mataram (1755-1792).
Akibat penyerbuan tersebut, di sepanjang perjalanan yang dilewati pasukan berkuda itu bila bertemu dengan peranakan etnis Tionghoa pasti dibantai, tak peduli itu anak-anak maupun perempuan. Deretan rumah di sepanjang pinggir alur Kali Bengawan Solo pun dibumihanguskan, dan mayat-mayat yang terbantai di jalan pun dibiarkan di jalanan.
Di balik peristiwa tersebut, usut-punya usut dan dicatat dalam sejarah kelam suku bangsa Tionghoa ini faktor penyebabnya pun tak jauh berbeda dalam peristiwa sama sebelumjya. Yakni, tebaran kebencian atas perilaku sekelompok etnis suku bangsa ini sendiri, karena merasa sok jagoan sehingga berperilaku memuakkan, dan di luar batas apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Kelompok tersebut bertindak sebagai penarik pajak, di setiap tempat yang merasa siapa saja yang melintas atau berada di lokasi itu harus membayar pajak. Tidak hanya di jalan, tapi juga di pasar-pasar, toko, sungai, dan juga pelabuhan semua tanpa kecuali diwajibkan membayar pajak oleh mereka.
Padahal, awalnya mereka ini juga hidup berdampingan warga lainnya yang tak lain adalah etnis Jawa, tapi kelompok etgnis Tionghoa ini berubah berperilaku culas. Sehingga bisa menikamati kondisi kehdupan di atas rata-rata, karena bermodal keberanian, dan sudah barang tentu karena merasa punya perlindungan atas nama kekuasaan pemerintahan.
Dengan demikian, kelompok kecil yang akhirnya menebar dan berada di mana-mana itu tidak lagi mendapat ruang simpati atas perilakunya. Sehingga jika dari kalangan rakyat yang merasa tertindas, akhirnya mendapat pembelaan sebagaimana dilakukan Raden Ayu Yudakusuma pun sudah semestinya, meskipun pembelaan tersebut dicatat sebagai sejarah kelam di republik.(bersambung)