Eddy Siswanto (Ong Tjwan Swie) dan dokumen foto Pantjoran Glodok Djakarta di Tahun 1946.(Foto:SN/aed/dok)
SAMIN-NEWS.COM KARENA sejarah itu harus hitam putih dalam mencatat dan menuliskannya, maka dalam mengkilas atau menyarikan kembali pun harus apa adanya. Sehingga satu hal yang tak bisa dihapus dari catatan tersebut tentu Sejarah Kelam yang dialami suku bangsa Tionghoa peranakan sejak jauh sebelum maupun sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia.
Hal itu sama sekali jauh dari maksud untuk menyibak kembali sentimenisme atas peristiwa demi peristiwa yang dialami suku bangsa ini, melainkan untuk membuka kembali catatan sejarah yang mungkin telah usang. Akan tetapi untuk dimaknai, agar tragedi anak manusia yang mewarnai peradaban di bumi republik ini tidak kembali terulang.
Sebab, rasanya terlalu pahit jika kita sudah 73 Tahun merdeka tapi masih mudah terkecoh dengan hal-hal yang mudah dipicu soal perbedaan warna kulit dan egoisme kesukuan yang seharusnya bisa bersama-sama membangun kebanggaan atas nama kebangsaan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Padahal syarat yang dibutuhkan pun tidak terlalu sulit, yaitu cukup dengan sebuah kasadaran untuk menjaga kehidupan ini dengan saling berdampingan.
Sedangkan sejarah kelam yang pernah terjadi akibat dari politik kolonial dengan adu domba, seharusnya juga membuat kita semakin sadar. Sehingga yang harus lebih kuat lagi dibangun, adalah bisa saling menjaga atau bertoleransi untuk menghapus setiap perbedaan, karena para leluhur masing-masing sudah mengajarkan melalui aneka bentuk budaya yang harus kita junjung bersama-sama.
Karena itu, tidak sepantasnya mengulang lagi sejarah masa lalu, tapi kita pun wajib menjunjung tinggi sejarah tersebut. Sebab, pada akhirnya kita ini tetap satu bangsa besar yang wajib menghargai jasa para leluhur, karena hal itu yang masih membuat kita ini sebagai bangsa berdaulat dan berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia, karena kita memang satu –Indonesia–
Dengan demikian, mari kita sama-sama belajar dengan jujur atas sejarah masa lalu sekali pun itu terasa pahit. Ketika rentang waktu ratusan tahun setelah kedatangan suku bangsa Tionghoa mendarat dari pelayaran maupun ekspidisi dengan meninggalkan negeri leluhur sekitar Tahun 901 Masehi, maka suku bangsa ini pun beranak-pinak dan menyebar di mana-mana.
Salah satu tentu di Kota Besar yang bernama Batavia, meskipun harus memilih tempat tinggal jauh di pinggiran kota. Kendati demikian, mereka harus mendapat izin dari pemerintah kolonial Hinda Belanda yang memposisikan diri sebagai penguasa, karena bumi Indonesia ini telah diklaim sebagai bumi jajahan.
Tercatat sekitar Tahun 1740 disebutkan, di pinggiran Kota Batavia ini sudah dihuni tidak kurang dari 10.000 suku bangsa Tionghoa yang bisa disebut peranakan. Sebab, para leluhurnya tentu sudah mendahului meninggal, dan dimakamkan di bumi yang sudah ratusan tahun dihuni sebagai pekerja keras, baik berdagang dengan pemerintah kolonial tapi ada pula yang banyak bekerja sebagai buruh.
Mengingat saat itu pemerintah kolonial sudah mempunyai atau mendirikan banyak pabrik gula, maka suku Tionghoa peranakan ini pun banyak yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Sampai akhirnya dipicu keresahan oleh tindakan represif pemerintah Hinda Belanda yang salah satu faktor penyebabnya tak lain, karena berkurangnya pendapatan pemerintah akibat jatuhnya harga gula di pasaran dunia.
Hal itu ternyata dijadikan alasan, untuk memindahkan buruh pabrik gula bukan dari keturunan suku bangsa Tionghoa, melainkan para buruh dari suku bangsa yang disebut pemerintah kolonial sebagai pribumi. Tujuan pemindahan mereka adalah ke pabrik gula yang ada di caylan dengan perjalanan menggunakan kapal laut.
Akan tetapi pemindahan tersebut, tak lebih hanya sekadar alasan karena pemerintah kolonial memang sengaja bertminat menghapus para buruh pribumi ini. Sehingga di tengah perjalanan laut ini mereka dibantai dan mayatnya ditenggelamkan, dan hal itu diketahui jelas oleh buruh lain dari suku bangsa Tionghoa.
Melihat tragedi kemanusiaan tersebut, maka para buruh dari kalangan suku bangsa ini pun berupaya menyelamatkan buruh suku pribumi. Sehingga perjalanan kapal yang memang sengaja untuk membantai buruh pribumi ini diadang, dan buruh Tionghoa ini berhasil membunuh sekitar 50 orang pasukan tentara pemerintah kolonial yang melakukan pembantain terhadap buruh pribumi ini.
Bermula dari peristiwa inilah, terjadinya tragedi Geger Pacinan atau dikenal pula dengan Tragedi Angke atau oleh pemerintah kolonial dicatat sebagai Chinezenmoord. Yakni, pwmbunuhan orang Tionghoa di Kota Pelabuhan, Batavia (bersambung)