Wakil Bupati, H Saiful Arifin saat memberikan sambutan pada pengukuhan kepengurusan PWI Pati, Sabtu (27/10) kemarin.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM – ADA sisi hal menarik untuk dicatat ketika Wakil Bupati, H Saiful Arifin memberikan sambutan pada pengukuhan kepengurusan PWI Pati, yakni (maksudnya) wartawan jangan menjastis hal-hal yang belum pasti tentang kebenarannya. Karena hal itu dampaknya kurang bagus, sehingga sampai pejabat negara yang hendak berkunjung ke Pati pun batal.
Apa yang disampaikan Wakil Bupati itu jika dikaitkan dengan kondisi sekarang memang cukup relevan, karena yang dimaksudkan adalah setiap pejabat negara yang berasal dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Hadiningrat. Sedangkan yang berasal dari Surakarta Hadiningrat, keterkaitannya dengan pejabat yang berasal dari daerah tersebut tidaklah begitu signifikan, sehingga siapa pun mereka jika menjadi pejabat negara tidak perlu khawatir berkunjung ke Pati.
Mengapa bisa muncul hal-hal demikian, dan menjadi pertanyaan yang tidak pernah jelas apa jawaban yang tepat, serta upaya mencari solusinya. Sebab, semua berpangkal pada sejarah masa lalu atau pada abad XVI, ketika masa Kerajaan Islam di Tanah Jawa, dan sebagai rajanya yang awal adalah Panembahan Senomati atau nama lain Danang Sutowijoyo.
Sedangkan kerajaannya, yaitu Mataram yang berdiri setelah runtuhnya Kerjaan Pajang, dan pada masa itu Kadipaten Pati pun sudah berdiri. Sebagai adipatiya, Wasis Joyokusumo, putra kedua Ki Ageng Penjawi, dan Panembahan Senopati Mataram itu putra Ki Ageng Pemanahan yang juga sama-sama menjadi bagian dari pendirian kekuasaan pada masanya.
Akan tetapi, pada akhirnya muncul konflik antara trah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi, sehingga pecahlah pemberontakan antara Mataram sebagai pusat kekuasaan dan Pati yang berposisi sebagai bagian dari wilayah kekuasaan. Dari peristiwa yang sudah lewat lebih dari lima abad itulah, ternyata masih membekas secara turun temurun di benak masyarakat Pati.
Besar kemungkinan terjadinya hal yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Pati, maka hal-hal yang belum tentu kebenarannya, sudah dijastis secara berlebihan. Akan tetapi hal itu bukan berarti masyarakat Pati tidak mempunyai catatan khusus tentang hal itu, karena secara turun temurun hal-hal pejabat dari Yogya menghindar untuk tidak menginjak Bumi Pati.
Salah satu yang tidak bisa dipungkiri, adalah kehadiran Sultan Hamengku Buwono IX yang harus hadir sebagai juru kampanye Golkar pada Pemilu 1977. Untuk perjalanannya menempuh ryuas jalan Yogya-Solo-Purwodadi ke Pati, bukan lewat Yogya-Semarang-Kudus-Pati yang di kawasan tersebut terdapat Gunung Patiayam.
Banyak saksi mata, ketika sampai di panggung kampanye, di Alun-aun Simpanglima kendaran Sri Sultan langsung mendekat ke panggung kampanye, sehingga tidak turun dari mobil. Bermula dari itu akhirnya masyarakat Pati menjastis, bahwa Sri Sultan datang ke Pati tidak menginjakkan kakinya di Bumi Pati yang dipercayai hingga sekarang.
Hal itu diperkuat dengan munculnya peristiwa lain yang memang sulit dinalar, yaitu ketika Pati selesai masa pemerintahan Bupati Rustam Santiko yang digantikan Bupati Panudju Widayat. Kehadiran yang bersangkutan dalam memimpin Pati pun tidak berlangsung lama, hanya dalam waktu enam bulan karena beliau mendadak jatuh sakit, dan dipanggil Yang Maha Kuasa.
Dari peristiwa ini meskipun sulit diterima oleh nalar dan logika, bahwa setiap kematian atas makhluk di bumi yang namanya manusia memang tidak berhak untuk mengetahui. Akan tetapi, dengan mata hati orang bisa mengkaitkan masalah tersebut dengan hal-hal sebab-akibat dari masa lalu yang dipandang tidak ada reevansinya.
Akan tetapi masyarakat Pati lebih melihat fakta yang dikaitkan dengan masa kesejarahan, bahwa antara Mataram dan Pati, secara turun temurun memang ada roh kekuasaan yang tak bisa lepas dari hal-hal yang disebut pantangan, Yakni, peristiwa masa lalu yang tetap tak pernah bisa lepas dari sebab-akibat yang rohnya tidak bisa hilang dari Bumi Pati.
Jika dikaitkan dengan hal yang lebih jauh, adalah setiap pejabat di Pati yang bukan bertumpah darah dengan roh Bumi Pati, hendaknya tidak terlalu banyak menghimpun pendapatan dari bumi ini. Banyak contoh yang sudah lewat pada masa-masa sebelumnya, di mana apa yang dikumpulkan terlalu banyak pun semua berakhir tidak membawa kemaslahatan apa-apa.
Mungkin inilah yang oleh Wakil Bupati Saiful Arifin tidak dijastis kebenarannya, karena hal itu hanya sebuah fatamorgana. Tapi, masyarakat yang mempunyai matin untuk membaca setiap peristiwa kesejarahan, besar kemungkinan juga tidak pernah menghapus catatan tentang roh Bumi Pati yang tidak bisa diabaikan, entah sampai kapan.(Ki Samin)