Kira-kira beginilah, jika perempuan Kapolres AKBP Uri Nartanti Istiwidayati saat berakting memainkan peran salah satu tokoh dalam seni pertunjukan.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM DALAM hal kesejarahan ternyata perempuan Kapolres AKBP Uri Nartanti Istiwidayati juga mempunyai kepekaan tersendiri, meskipun bagi orang lain sejarah itu masa lalu yang kecil sekali kemungkinan bisa kembali terulang. Sehingga ada yang menganggap sejarah hanyalah sekadar cerita dongeng yang cocok sebagai pengantar tidur si Buyung.
Padahal sejarah adalah sebuah lahirnya peradaban manusia pada masanya, meskipun itu sudah terlewatkan berabat-abad tentu masih ada korelasinya hingga pada masa sekarang. Terbukti bagi siapa saja yang tertarik pada kesejarahan, tetap mempunyai kepedulian dan keterikatan dengan para leluhur atau para pendahulunya.
Karena itu, sejarah peradaban manusia pun masih tetap digali, ditelusuri, dan diterliti oleh para ahlinya, dan yang tak kalah menarik pelestariannya khusus di Pati pun masih dilestarikan oleh grup-grup seni pertunjukan, yaitu ketoprak. Sehingga para pejabatnya pun beberapa tahun terakhir ini terus tetap eksis, untuk bisa memainkannya.
Dalam momentum peringatan Hari Korpri tahun ini, pada 30 November mendatang, sweni pertunjukan akan kembali digelar dengan mengambil cerita tentang kesejarahan yang terkait masa lalu antara Pati dan Mataram. Yakni, tentang sosok tokoh perempuan muda, Roro Mendut yang sedianya akan diperankan Kapolres Pati, AKBP Uri Nartanti Istiwidayati.
Mengingat dalam waktu dekat tugasnya di Pati harus berakhir, dan berpindah ke Wonogiri, maka peran sosok Roro Mendut pun urung dilakukan. Sehingga muncul komentar di media sosial (medsos), hal tersebut dinilai lebih baik karena ada keterkaitan kesejarahan antara Pati dan Mataram pada masanya.
Berdasarkan cerita novel dengan judul Roro Mendut karya YB Mangunwiajaya (Romo Mangun) memang beda dengan versi cerita sama yang sampai saat ini seperti diyakini kebenarannya oleh masyarakat Pati, karena sering ditampilkan dalam cerita seni pertunjukan ketoprak. Kebanyakan dalam menampilkan cerita tersebut, bahwa Roro Mendut sebenarnya adalah putri boyongan dari Bali yang dititipkan pengasuhannya oleh penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo melalui Tumenggung Wiroguno kepada Ki Gedhe Rogowongso.
Setelah menginjak masa remaja, mendut ini tertarik ketampanan seorang pemuda, putra Ki Gedhe Jiwonolo yang bernama Joko Kemudo. Sedangkan antara Ki Gedhe Rogowongso dan Ki Gedhe Jiwonolo ini adalah kakak-adik seperguruan, karena mereka adalah murid Ki Lodang Datuk, di Pulau Seprapat.
Akan tetapi dari strata sosial, Ki Gedhe Rogowongso adalah orang yang berkecukupan dari kegiatan usahanya berjualan di pasar yang mulai buka sore hingga malam hari. Sedangkan Ki Gedhe Jiwonolo dari kalangan bawah, karena pekerjaannya sehari-hari hanyalah membuat kerajinan untuk perkakas rumah tangga dari bahan bambu.
Singkat cerita, hubungan cinta di antara keduanya pun terhalang karena Ki Gedhe Rogowongso harus memenuhi keinginan Adipati Pati Pragola yang hendak menyunting putrinya. Sehingga pernah berkembang cerita ”gugon-tuhon” bahwa antara warga Rogowangsa dan Juwanalan tidak boleh ada perjodohan, karena di tengah perjalanan berumah tangga akan mengalami kegagalan.
Ki Gedhe Rogowongso baru menyadari, ketika datang utusan dari penguasa Mataram, yaitu Tumenggung Wiroguno yang harus membawa balik (memboyong) Roro Mendut ke Mataram karena sudah ”dikersakke”. Ternyata itu hanya akal bulus sang tumenggung, karena Roro Mendut pun disingker di ndalem Katemenggungan.
Sebab, temenggung ini pun tertarik untuk mempersunting sendiri Roro Mendut, sampai akhirnya cerita bertemunya putri itu dengan pemuda pujaannya, Pronocitro. Nama Pronocitro tak lain adalah Joko Kemudo yang diminta oleh Ki Gedhe Rogowongso dan ayahnya Ki Gedhe Jiwonolo, untuk memboyong kembali Roro Mendut ke Pati.
Di sinilah drama kehdupan dalam percintaan anak manusia harus mereka lakoni, karena Pronocitro harus mati di tangan Tumenggung Wiroguno yang jenazahnya dihanyutkan ke Kali Elo. Atas sumpah dan janji serta kesetiaan cintanya, Roro Mendut pun menyusul Pronocitro dengan mengakhiri hidupnya. Itulah cerita dalam seni pertunjukan ketoprak.
Kendati demikian, ketika Uri yang akan memerankan Roro Mendut ternyata batal, justru beberapa komentar menyatakan, hal tersebut lebih baik. Apalagi yang bersangkutan, adalah dalam strata posisinya sebagai seorang pejabat berasal dari bagian wilayah kekuasaan Raja Mataram yang dalam ”gugon tuhon” tidak boleh memegang kekuasaan di Pati.
Ketika hal tersebut ditanyakan kepada yang bersangkutan menegaskan, bahwa selain harus melaksanakan tugas di Pati sebagai Kapolres, dari niat yang terkandung di lubuk hati paling dalam adalah sekaligus untuk sowan kepada para leluhurnya. Di antaranya, adalah Ki Ageng Penjawi dan para Adipati yang berasal dari Mataram.
Benar-benar luar biasa tingkat kepekaan perempuan Kapolres ini terhadap kesejarahan Pati.(Ki Samin)