Salah satu perwakilan Forum Wartawan Pati (FWP) yang disyaratkan masuk ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), di Mojokerto, Jawa Timur.(Foto:SN/dok-fwp-aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI-Dari sebuah museum terbesar yang menyimpan tidak kurang dari 80.000 koleksi benda bersejarah pada masanya, Trowulan, di Mojokerto, Jawa Timur, tapi tidak ada satu pun di antaranya yang disebut Prasasti Tuhanaru. Mendengar penjelasan petugas museum tersebut, Abdul Rozak, anggota Forum Wartawan Pati (FWP) dan berencana mendiskusikan prasasti di lingkungan museum itu saling pandang.
Apalagi, ketika petugas yang bersangkutan juga secara jujur memgungkapkan bahwa mendengar nama prasasti tersebut pun baru kali pertama. Karena itu, pupuslah sudah harapan untuk bisa melihat benda bersejarah, dan mendengar, serta melihat dibacakannya tulisan pada prasasti itu yang selama ini disebut-sebut sebagai catatan bahwa titik awal penetapan angka tahun sejarah berdirinya Pati (1323).
Hal itu bermuka ketika Pemerintah Kabupaten Pati di Tahun 1994 membentuk Tim Hari Jadi Pati (THJP) sebagai salah satu syarat jika ingin meraih piala Adipura. Dalam menuliskan sejarah tersebut, sebagai referensi sudah pasti Cerita Babad Pati yang menceritakan AdipatiTombronegoro pernah hadir dalam pertemuan di Majapahit.
Kala itu Raja Majapahit disebutkan dalam cerita babad itu adalah Brawijaya II bernama Jaka Pekik, putra Jaka Suruh. Kehadiran Adipati Tombronegoro dalam pertemuan di Kerajaan Majapahit tersebut oleh THJP Tahun 1994 juga diperkuat dengan pernyataan dan pembuktian Prasasti Tuhanaru yang dikeluarkan Raja Majapahit, Prabu Jayanegara (1323) dengan lokasi di Desa Sidateka.
Keberadaan prasasti itu disebut-sebut berada di Museum Trowulan yang secara resmi baru pindah di lokasi sekarang Tahun 1990, sehingga sampai saat ini khususnya warga Pati yang mempunyai perhatian terhadap kesejarahan daerahnya, tahunya bahwa prasasti tersebut tersimpan fdi Museum Trowulan. ”Akan tetapi setelah kami datang ke museum tersebut, untuk melihatnya secara langsung, ternyata tidak ada,”ujar Wakil Ketua FWP, Wicaksono Adiprabowo Yekti.
Anggota FWP saat ditertima petugas Museum Empu Tantular di Sidoharjo, Jawa Timur, dan berfoto bersama sebelum meninggalkan museum itu.(Foto:SN/dok-fwp-aed)
Karena perwakilan FWP yang diterima di BPCB juga menerima penjelasan tak jauh berbeda langsung dari salah sweorang arkeolognya, Wicaksono yang juga baru kali pertama mendengar tentang prasasti itu, akhirnya menyarankan agar mencari tahu ke Museum Empu Tantular, di Sidoharjo. Siang itu rombongan pun segera meninggalkan Trowulan, Mojokerto menuju ke Museum Empu Tantular.
Di museum tersebut, masih kata Wicaksono Adiprabowo Yekti, mereka diterima salah seorang petugas museum, Sadari. Akan tetapi setelah menerima penjelasan bahwa rombongan ini tengah mencari Prasasti Tuhanaru, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Senirupa ini pun menyatakan bahwa prasasti itu tidak ada dalam museum iji.
Jika ada barangnya, dia pasti tahu karena memang dia yang mengurus perpindahan museum Kota Surabaya ini ke Sidoharjo. Pernyataan serupa dengan petugas museum di Trowulan maupun dari BPC Mojokerto, yaitu baru kali pertama mendengar nama prasasti tersebut.
Kemudian dia pun minta bantuan salah seorang temannya, barangkali mengetahui, tapi lagi-lagi oleh yang bersangktan juga memberikan jawaban sekali tiga uang. Karena tidak menemukan apa yang dicari, rombongan pun bersiap-siap meninggal meninggalkan museum itu untuk melanjutkan kegiatan ainya, meskipun sekembalinya ke Pati hanya dengan tangan hampa.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba petugas itu teringat apa yang pernah disampaikan seorang Epigraf (ahli membaca aksara kuna) tentang isi prasasti Tuhanaru dalam terjemahan Bahasa Belanda. ”Kami juga dberikan kontak personel orang tersebut, meskipun harus menunggu sekitar setengah jam, dan kini harus mulai dari nol lagi untuk melacak titik samar kebaradaan Prasasti Tuhanaru,”tandasnya.(sn)