Sulit Mengkompromikan Kebenaran Sejarah Pati

Arkeolog yang juga seorang ”Epigraf” (ahli pembaca aksara kuna), Gunawan.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  PATI – Rasanya terlalu sulit untuk mengkompromikan kebenaran sejarah Pati, utamanya Hari Jadi Pati (HJP) dengan angka Tahun 1323, jika acuan referensi kesajarahannya tetap bertumpu pada Prasasti Tuhanaru. Tentang sosok  Mapanji San Arrya Patipati Pu Kapat, dan tentang Manpanji San Arrya Jayapati Pu Pamor.
Jika dua sosok tokoh dengan sebutan ”Arrya”  , sebenarnya ”Arrya”  adalah nama gelar kebangsawanan, dan untuk sebutan pangkat adalah ”uppapati.”  Kedua orang itulah yang disebut-sebut dalam Babad Pati identik dengan Tambranegoro dan Tondonegoro yang pernah ”sumewa” ke Majapahit Tahun 1323 yang memang tertera dalam Prasasti Tuhanru.
Akan tetapi dalam Babad Pati terbitan Balai Pustaka yang juga menjadi referensi acuan HJP, sama sekali tidak ada menyebut nama Tombonegoro. Lalu siapa yang disebut Arrya Patipati Pu Kapat, ya sudah barang tentu bukan Adipati Tombronegoro, karena tahun masa pemerintahannya sama dengan berdirinya Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya.
Oleh arkeolog yang juga ahli membaca aksara kuna, Gunawan ditegaskan bahwa Pu Kapat adalah seorang yang pernah mempunyai jasa besar terhadap berdirinya Kerajaan Majapahit. Sehingga putra Pu Kapat yang juga dengan sebutan nama Pu Kapat, mendapat hadiah berupa bumi perdikan oleh Raja Jayanegara yang dicatatkan pada Prasasti Tuhanaru.
Dengan demikian, Arrya (gelar kebangsawanan) dan ”uppapati” atau memudahkan penyebutannya ”pati” (pangkat) Pu Kapat, bukanlah yang dimaksud oleh THJP sebagai Tombronegoro. Masalahnya, Tombronegoro dari cerita Babad Pati terbitan Balai Pustaka, sama sekali tidak ada tercantum di dalamnya, sehungga yang ada dan disebut-sebut dalam cerita babad itu justru Tondonegoro.
Berangkat dari dasar cerita babad saja, rasanya sulit untuk berkompromi tentang kebenaran adanya Adipati Tombronegoro (1294). Nama tersebut bisa saja dari penyebutan lafal yang kurang tepat, sehingga yang ada itu Tondonegoro menjadi Tombronegoro, karena sebutan  ”Tanda” itu justru ada di zaman Majapahit yang artinya jika dikaitkan dengan kondisi sekarang adalah sama dengan sebutan pegawai negeri sipil (PNS).
Pemerhati Sejarah Pati dari Yayasan Arga Kencana, Joko Wahyono.(Foto:SN/aed)  

Rasanya kurang objektif jika tidak mencoba mengkompromikan sebutan ”Tanda” dengan Majapahit dan Jayanegara. Sebab, angka Tahun 1303 masa pemerintahan Adipati Pati Tondonegoro, karena 6 tahun kemudian (1309) Jayanegara naik tahta, Tahun 1323 atau 14 tahun berikutnya muncul Prasasti Tuhanaru, sehingga periodesasinya ada keterkaitan toponim salah satu nama dalam prasasti tersebut, yaitu ”Jayapati” Pu Pamor dengan nama Jayanegara.
Sebab yang lebih besar itu jaya (negara) atau bangsawan paling atas (puncak) dan di daerah untuk ”jaya” (pati) jika menggunakan sistem ”gothak-gathuk mathuk”  ya diartikan atau merujuk saja bangsawan dari Pati. Yang menjadi oertanyaan, siapa bangsawan dari Pati itu, ya sebut saja Tondonegoro jika kita mau berkompromi.
Konsekuensinya, rentetan pertanyaan akan semakin bertambah panjang, dan bagaimana dengan Adipati Tombronegoro. Jawabnya, ya tegas harus dikesampingkan meskipun selama ini dalam kesejarahan di Pati, adalah Adipati Pati yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kemiri ke Kaborongan.
Pertimbangannya sebutan ”Tanda” ada di Majapahit yang kedudukannya jika sekarang adalah setara dengan PNS. Sedangkan sebutan lain untuk Tondonegoro  dengan ”Jayapati” Pu Pamor, bisa saja terjadi jika kita hendak berkompromi, karena angka tahun masa pemerintahannya di Pati berlangsung hampir bersamaan dengan angka tahun masa pemerintahan Jayanegara.
Di sisi lain ‘jika  ”Tanda” adalah sama ”jaya” (pati) untuk sebutan bangsawan yang di daerah, pada masa tersebut juga banyak nama pejabat tinggi Majapahit dan pejabat daerah tertulis dalam Prasasti Waringin Pitu. Demikian pula pada prasasti Sidateka atau nama lain dari Prasasti Tuhanaru pun tertulis banyak nama pejabat negara dan pejabat daerah.
Siapa tahu, dengan kompromi bahwa Tondonegoro adalah sebutan lain untuk pejabat daerah dengan gelar Arrya ”Jayapati” Pu pamor. ‘Karena itu untuk merujuk kebenaran dan kesahihan kompromi tersebut, mari kita uji bersama-sama tapi dengan konsekuensi kebenaran sejarah tentang Tondonegoro, adalah ”hilangnya”  sejarah Tombronegoro.
Pasalnya, yang menjadi titik tumpu rujukan THJP Tahun 1994 untuk menentukan angka Tahun 1323 sebagai Hari Jadi Pati adalah Prasasti Tuhanaru. Padahal inti dari isi prasasti tersebut, adalah Penetapan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra, tapi penatapan dalam pisowanan agung tersebut, THJP menyebutkan dua pejabat dari Pati ikut hadir.(Ki Samin)

Previous post Membedah Kesejarahan Pati yang Sejak Awal Sudah Runyam
Next post LEGAL OPINION ,BIAR KLIEN KITA TIDAK TERSESAT

Tinggalkan Balasan

Social profiles