Pohon Natal berhias lampu warna-warni yang menyala secara bergantian, di halaman Kelenteng Hok Tik Bio, di Jl MH Thamrin Pati tadi malam mulai mewarnai suasana menjelang perayaan Natal 2018 dan penyambutan Tahun Baru 2019.(Foto:SN/dok-aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Toleransi atau apa pun sebutan lainnya ”tenggang rasa”, ”tepa selira”, menghargai, menghormati, dan saling memahami serta menyadari atas hak dan kedudukan yang sama sebagai mkhluk di bumi ciptaan-Nya betapa indah dan damainya jika tidak hanya sejadar kata-kata. Itulah hal kecil yang selama ini selalu diupayakan, untuk bisa diwujudkan oleh Kelompok Gusdurian di Pati.
Faktanya, dalam menghadapi hal kecil tersebut justru kita ini sering lupa diri hanya karena dimanjakan oleh suasana hati yang hitam pekat atas nama egoisme dan kesombongan diri sebagai superior seolah-olah kita ini sebagai sosok individu maupun kelompok akan berada di bumi-Nya ini selamanya. Padahal jika kita sadar akan sisok diri siapa pun, waktu yang kita miliki ini sangatlah terbatas.
Karena itu, kata Kiai Happy Irianto salah satu bagian dari Kelompok Gusdurian di Pati yang dikoordinatori Eddy Siswanto, dan juga Ketua Umum Kelenteng se-Kabupaten Pati, dengan ketersediaan waktu yang sangat terbatas ini justru janganlah merugi. Akan tetapi, marilah saling berbuat kebajikan dan saling berpesan tentang kebenaran.
Untuk berbuat hal yang demikian itu, sebenarnya bukanlah hal sulit karena semua kembali ke dasar hati nurani masing-masing bahwa sebaga hamba kedudukan kita itu sama. ”Sedangkan yang membedakan diri di antara kita itu tak lain adalah kadar amalan dan perbuatan kita semata yang semua atau siapa saja bisa melakukannnya,”ujarnya.
Apalagi, masih kata Kiai Happy Irianto, contoh untuk sudah banyak dilakukan oleh siapa saja hanya kadarnya saja yang berbeda. Sehingga bagi yang merasa belum melakukannya, atau selama ini hanya masih dalam retorika kata-kata, lebih baik segera menanggalkan jauh-jauh dari egoisme masing-masing, dan menggantinya dengan apa yang mudah diucapkan tapi faktanya kita ini sering abai karena balutan hati nurani kita gelap oleh kesombongan.
Berdasarkan kondisi demikian itu, Gusdurian selalu hadir dengan warna-warni di tengah-tengah perbedaan. Sebab, perbedaan tersebut hanyalah soal rasa yang sering tidak terkendali ketika melihat yang lain mengapa tidak mau tampil sama dengan kita, tapi yang tidak mau sama itu dianggap dan disikapi secara berlebihan.
Akibatnya, jika rasa itu sudah saling bergesek antarindividual karena yang namanya toleransi sudah tdak lagi menjadi bagian dari rasa, maka egoisme kelompok yang akan dominan mewarnainya. Karena itu, kendati hanya sekadar melihat adanya perbedaan sekecil apa pun, itu kita hanya membutuhkan rasa kita untuk menyikapinya dengan senyum dan kelembutan rasa pada nurani masing-masing.
Contoh untuk bisa seperti itu, tak beda jauh dengan filosofi terpasangnya pohon Natal dengan nyala lampu warna-warni di halaman depan Kelenteng Hok Tik Bio, ternyata yang warna-warni itu melahirkan suatu keindahan tersendiri. ”Sebab, kelenteng itu milik seluruh umat, dan itu bukan simbol agama tertentu, melainkan sebuah bangunan budaya masa lalu pada peradaban leluhur suku Bangsa Tionghoa yang hingga sekarang tak terpisahkan oleh banyak suku bangsa yang dimiliki oleh republik tercinta ini,”tuturnya.(sn)