Salah satu upaya untuk bisa berpikir ”jejeg” ketika seniman, budayawan dan wartawan merefleksikan diri untuk menjadi orang lain di atas panggung seni pertunjukan, ketoprak.(Foto:SN/dok-fwp-aed)
SAMIN-NEWS.COM SABTU (9/2) hari ini awak media apa pun di seluruh jagad republik ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2019, dan sudah barang tentu termasuk awak media yang tergabung dalam Forum Wartawan Pati (FWP). Kendati untuk gelaran peringatan tersebut secara sederhana baru akan berlangsung Sabtu (16/2) pekan depan, tapi sebuah momentum sudah menjadi kesepakatan.
Apalagi, jika tidak berbenah secara internal dan membangun sinergitas dengan semua pihak untuk berpikir ”jejeg.” Pada tataran implementasinya adalah bersandar pada legal standing yang menaungi kelompok ini yang memilih berbadan hukum sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, sehingga komitmen untuk membangun sinergitas pun dimulai dengn membuka cakrawala pikir kepada khalayak.
Karena itu, ketika pemerintah kabupaten (pemkab) setempat, di mana Bupati Haryanto bersama seluruh jajaran pemimpin organisasi perangkat daerah (OPD) membuka dialog dengan Forum Wartawan Pati (WFP) dan kelompok wartawan lainnya beberapa waktu lalu, maka komitmen berpikir ”jejeg” seluruh anggotanya pun diuji. Yakni, sejauh mana sebenarnya daya pikir kritis yang ”jejeg” tersebut dalam menyikapi permasalahan krusial berkait dengan pelaksanaan relokasi pedagang kaki lima (PKL).
Ternyata seluruh poersonel anggota FWP, tetap bersikap kooperatif dengan lebih mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan kelompok maupun perseorangan yang bersikukuh untuk bisa menguasai fasilitas publik. Yakni, Alun-alun Simpanglima Pati, Jl Sudirman, dan Jl Pemuda agar bisa-secara terus menerus dimanfaatkan oleh kelompok tersebut untuk berjualan.
Padahal pemerintah kabupaten (pemkab) setempat yang berkompeten mengelola dan bertanggung jawab terhadap fasilitas publik itu untuk direvitalisasi, agar masyarakat Kabupaten Pati lainnya juga merasakan bisa ikut menikmati. Ha itu bukan berarti FWP abai terhadap kepentingan kelompok tersebut, mengingat dalam melakukan relokasi pemkab sudah menyediakan lokasi pengganti, di lingkungan bekas lokasi Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Perhutani KPH setempat.
Jika dampak dari kebijakan tersebut, ternyata ada awak media yang melihatnya dengan ”kacamata kuda”, maka sisi yang bisa dilihat hanyalah sudut pandang cukup sempit. Sehingga media tersebut menulisnya bahwa relokasi dari alun-alun, Jl Sudirman dan Jl Pemuda, adalah ”derita” bagi PKL yang bersangkutan.
Pertanyaannya, apakah awak media tersebut bisa mengungkapkan fakta PKL siapa yang menderita dengan kebijakan relokasi oleh pemkab tersebut. Sebab, fakta yang tak terbantahkan jelas bisa dilihat sampai sekarang para PKL itu masih dengan enaknya berjualan maupun membuka kegiatan usaha di lokasi fasilitas publik tersebut dengan sama sekali tidak ada yang mengusik.
Hal itu sama saja dengan kecil yang takut jika tertusuk jarum, meskipun faktanya jarum itu belum benar-benar menusuknya. Akan tetapi, para PKL itu sudah berteriak-teriak kesakitan dan atas sikap itulah yang sebenarnya membuat mereka seolah-olah menderita, tanpa pernah menunjukkan bagaimana mereka bertahun-tahun merasakan betapa nikmatnya sukses berjualan di alun-alun.
Atas dasar kondisi itu, maka dalam mempersiapkan gelaran memperingati HPN tahun ini, FWP tetap berkomitmen untuk membaca dan menilai, upaya pemkab untuk merevitalisasiu alun-alun adalah sebuah kebijakan yang tetap bijak dari sisi apa saja. Karena itu, untuk mendukung upaya gtersebut FWP akan ikut meramaikan lokasi itu.
Dengan demikian, Sabtu (16/2) pekan depan, FWP dalam memperingati HPN Tahun 2019 akan menggelar doa bersama mulai pukul 08.00 dilanjutkan dengan hiburan orkes melayu ”Mahabharata.” Siang harinya mulai pukul 13.00 juga digelar pertunjukan kesenian panggung tradisional Ketoprak ”Laras Budaya” dengan lakon ”Kebo Marcuet,” dan malam harinya masih dengan pertunjukan yang sama dengan membesut lakon ”Geger Rogowongso” serial Joko Kemudo Lena.(sn)