Rembesan air dari lubang timbunan sampah TPA Sukoharjo, Kecamatan Margorejo, Pati (atas) seharusnya berproses masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dibangun dengan biaya tidak murah (bawah).(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM TEMPAT pemrosesan akhit (TPA) sampah dengan model ”Sanitary Landfill” seharusnya tidak memunculkan terjadinya rembesan air dari timbunan sampah keluar melalui celah kecuali melalui saluran yang tersedia/terpasang. Sebab, pada lubang dasar hingga semua dinding sisi lubang tertutup lapisan geotekstil.
Akan tetapi TPA model tersebut di Sukoharjo, Kecamatan Margorejo, Pati yang didesain berdasarkan kajian teknis oleh para ahli yang dipercaya Satker Provinsi Jawa Tengah, justru berbeda antara kajian teknis dan fakta di lapangan. Salah satu contoh, dari lubang timbunan tersebut masih memunculkan rembesan air limbah yang sudah barang tentu belum terurai.
Sebab, renebasan air yang disebut ”licit” tersebut tidak masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), melainkan masuk ke saluran kecil terbuka di sekelilingnya. Jika air ”licit” fremebasan itu keluar dalam kapasitas lebih besar, karena bercampur air hujan akhirnya juga limpas dari saluran, dan yang lain mengalir melalui saluran tersebut langsung masuk ke alur kali di sebelahnya.
Alur kali tersebut dari kawasan lingkungan mengalirkan airnya melawati Desa Badegan juga di wilayah kecamatan setempat menuju ke hilir hingga lewat saluran maupun gorong-gorong yang melintang di bawah ruas jalan raya nasional Pati-Kudus. Beruntung di musim hujan, gelontiran air dari hulu mampu membawa air ”licit” mengalir bersama-sama.
Melalui pipa paralon inilah rembesan air ”licit” dari saluran sekeliling IPAL langsung dibuang ke alur kali, sehingga sama sekali tidak memenuhi standar air buangan dari sebuah IPAL sebagaimana tampak pada gambar.(Foto:SN/aed)
Dari pemantau selama ini, akhirnya menimbulkan pertanyaan yang membutuhkan jawaban ahli lingkungan, benarkah fasioitas IPAL yang tersedia di TPA Sukoharjo itu sudah berfungsi sebagaimana ketentuan yang disyaratkan. Dengan demikian, hal itu membutuhkan kajian dan penelitian ulang.
Tanpa melalui upaya tersebut, hal itu sama saja membiarkan terjadinya pencemaran lingkungan sehingga jika itu yang terus menerus terjadi, benar-benar sangat memprihatinkan. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya tanggung jawab para pemangku kepentingan jika kondisi fisik fasilitas IPAL yang tersedia, ternyata fungsinya hanya sebagai alat pembenaran.
Padahal, faktanya, air ”licit” dari rembesan timbunan sampah seharusnya bisa memenuhi standar akir buangan setelah melalui proses pengolahan di IPAL. Akan tetapi, keberadaan fasilitas tersebut jika dicermati juga menimbulkan tanda tanya besar, karena dari beberapa bak tempat limbah cair berupa ”licit” itu selama ini tidak pernah menghasilkan air dengan standar sebagai air buangan.
Jika kondisi seperti itu dinilai sudah cukup, maka upaya mengatasi dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan tersebut hanya ada dalam teori dan retorika pemikiran para ahlinya. Karena itu, pemerintah mengalokasikan anggaran bermiliar-miliar untuk keperluan tersebut hasilnya hanyalah sebuah kesia-siaan yang memprihatinkan.(Ki Samin)