Kaum perempuan yang terpinggirkan di Kompleks Lorong Indah (LI) Desa/Kecamatan Margorejo, Pati di antar Ketua RT setempat, Mastur saat menuju ke lokasi TPS 01 Desa Ngawen, kecamatan setemopat dengan ekspresi seperti kelompok yang tengah unjuk rasa.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM – PARA pemilih yang tengah menunggu antrean di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 01 Desa Ngawen, Kecamatan Margorejo, Pati, Rabu (17/4) tadi pagi sekitar pukul 09.30, tanpa sengaja mendapat sajian hal yang lucu-lucu. Rombongan sebelas perempuan penduduk di luar wilayah Provinsi Jawa Tengah tersebut kedatangannya menggunakan dua kendaraan roda empat.
Jarak mereka turun dari mobil ke TPS tak lebih dari 50 meter, sehingga para pemilih yang tengah antre menunggu panggilan masuk ke bilik suara, dan sebagian besar sesama kaum perempuan pun secara bersamaan menpleh untuk mengetahui, rombongan siapa yang datang. Apalagi, saat mereka berjalan menuju TPS ada yang sambil membaca lembaran kertas, sehingga dianggap tengah membaca isi pamlet.
Belum lagi, Ketua RT LI, Mastur yang mendampingi mereka juga menampakkan ekspresi seolah-olah bersiap-siap menghadapi penghalang di depannya. Akan tetapi akhir dari semua itu gantian muncul bisik-bisik di kalangan perempuan pemilih yang sudah antre menunggu lebih dulu, sedangkan beberapa laki-laki yang semula tengah bergerombol di halaman depan TPS, tiba-tiba satu per satu menghilang, entah karena apa.
Ketika diterima petugas di TPS tersebut, kelompok perempuan yang kedatangannya di TPS itu adalah untuk menggunakan hak pilihnya, tentu harus juga menunggu. Untuk itu, mereka memilih menunggu di luar lingkungan TPS, yaitu di teras rumah milik warga di seberang jalan depan TPS tersebut.
Perempuan pemilih penduduk luar Provinsi Jawa Tengah dengan pengantar formulir model A-5 saat mendapatkan layanan dari petugas TPS 01 Desa Ngawen, Kecamatan Margorejo, Pati.(Foto:SN/aed)
Setelah satu dari sebelas perempuan pemilih tersebut selesai menggunakan hak pilihnya hanya untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden, kelucuan pun kembali berlanjut. Yakni, petugas di bagian palang terakhir, di mana untuk menandai bahwa seorang telah menggunakan hak pilihnya dengan mencelupkan salah satu jarinya ke dalam tinta, ternyata hal itu diabaikan oleh petugas yang bersangkutan.
Dengan kata lain, setelah pemilih tersebut memasukkan surat suara ke dalam kotak suara perempuan itu dibiarkan berlalu keluar TPS. Mazalahnya entah petugas tersebut keheranan, atau karena faktor lain sehingga lalai melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga yang terjadi adalah ”ger-geran” di TPS.
Akan tetapi ada hal lucu yang sangat memprihatinkan, adalah cerita Ketua RT LI Mastut, bahwa malam hari sebelum pagi harinya berlangsung pencoblosan, justru LI pun ramai oleh pengunjung. Bahkan semalam suntuk pengunjung enggan meninggalkan tempat tersebut, karena sekalian menunggu perempuan yang mebjadi pasangan atau langganannya pulang ke tempat asal untuk mencoblos.
Ramainya pengunjung lorong itu jika mengartikan ungkapan Mastur secara vulgar, jelas karena pasti pengunjung sedang berduit lebih. Duwit lebih itu terkumpul dan bersumber dari mana, jika kita berpikir tidak waras tentu dengan mudah bisa mengatakan secara vulgar pula, bahwa itu himpunan dari hasil politik uang para calon.
Mengingat kita harus tetap berpikir waras, maka hanya bisa mengatakan bahwa politik uang dalam pemilihan apa pun adalah merupakan candu, perusak sendi-sendi kehidupan sosial. Hal itu akan tampak terlihat, dan bisa diukur berapa tingkat kehadiran rakyat yang mempunyai hak pilih untuk mencoblos.
Bagi yang tidak datang di TPS untuk menggunakan hak pilihnya, hal tersebut bisa dikelompokkan sebagai pihak yang tidak dapat bagian candu dari para calon. Padahal kelompok perempuan pemilih dari status sosial yang terpinggirkan saja, tetap berupaya datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Salam selalu wartas.(Ki Samin)