Anggota DPRD Pati dari Fraksi PDI Perjuangan, H Djamari dan ruas jalan nasional Pati-Juwana.(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM PATI – Kendati sebagai anggota DPRD Pati tidak duduk di komisi yang membidangi masalah infrastruktur, tapi jika disuruh memilih atau memberikan saran dan masukan kepada pemerintah, tidak usah menghidupkan lagi jalur kereeta api (KA) Semarang – Rembang. Akan tetapi yang perlu dipikirkan ke depan, justru di ruas jalan nasional tersebut didukung pembangunan fasilitas jalan layang (fly over).
Pertimbangannya pemerintah sudah membangun infrastruktur tol Trans Java Jakarta-Semarang, meskipun tidak langsung hingga perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, melainkan setelah sampai Semarang belok kanan (selatan). Ke mana lagi, jika tidak ke Solo, dan kebijakan nasional tersebut sudah bertlangsung secara turun temurun hingga sekarang.
Beruntung, kata anggota Dewan yang bersangkutan, sekarang ini ada sedikit lubernya kebijakan pemerintah pusat, Semarang -Demak pun sudah terjamah penyediaan fasilitas infrastruktur jalan bebas hambatan tersebut, meskipun hanya sepanjang 25 kilometer. Hal itu sudah barang tentu untuk menjawab seringnya terjadi kemacetan mulai Genuk hingga Sayung, akibat munculnya problema rob yang hingga sekarang belum teratasi.
Karena itu, meskipun fasilitas tol dalam kurun waktu dekat ini tidak mungkin menyambung ke timur melewati Kudus-Pati-Rembang hingga batas Jawa Tengah dengan Jawa Timur, apa salahnya jika mulai sedikit digagas. ”Yakni, bagaimana jika di ruas jalan nasional yang tidak terjamah fasilitas tol tersebut digantikan dengan jalan layang (fly over),”tanya Djamari.
Untuk menggagas hal tersebut, katanya lebih lanjut, tentu banyak sarjana teknik yang bisa melakukan kajian-kajian detail enginnering desain (DED)-nya. Semisal, dari segi pembiayaan lebih murah mana antara tol dan jalan layang, atau taruhlah biaya tersebut hampir sama tapi jelas untuk jalan layang mempunyai sedikit lebih unggul karena cost sosialnya pasti sedikit lebih rendah.
Sebab, untuk jalan layang tentu tidak banyak membebaskan dan membayar ganti untung lahan milik warga, karena cukup menggunakan daerah milik jalan (DMJ) yang sudah ada. Sehingga problem sosial klasik jika menyangkut urusan ganti untung lahan milik warga, biasanya pasti muncul kelompok-kelompok kepentingan yang merecokinya.
Dengan demikian, jika jalan layang suatu saat menjadi pilihan sebagai infrastruktur Semarang ke timur, tentu tinggal menempatkan pilihan teknis, yaitu para pengguna jalan yang berkendara roda empat maupun roda dua yang lewat ruas jalan di atas. Sedangkan kendaraan bermuatan berat, seperti truk-truk jurusan Jakarta-Surabaya lewat jalan di bawahnya.
Kecuali jika dalam kondisi darurat, semisal ruas jalan yang di bawah terjadi kemacetan karena kecelakaan atau dalam kondisi ruas jalan tergenang banjir baru dialihkan ke jalan layang. ”Berbeda dengan membangun kembali jalur KA, selain problem sosialnya cukup tinggi juga mengundang rawannya kecelakaan, karena sekarang banyak pengendara motor yang dari jalan kabupaten masuk ke jalan nasional,”imbuh Djamari.(sn)