Membingkai Gagasan Anggota Komisi D DPRD Pati Endah Sri Wahyuningati

Redaktur ”Samin News” Alman ED.(Foto:SN-aw)


SAMIN-NEWS.COM   GAGASAN  salah seorang anggota Komisi D DPRD Pati, Endah Sri Wahyuningati khususnya yang berkait dengan pelibatan masyarakat atau para ”punggawa” desa untuk prosesi ”sowan ngabiantara” ke Kadipaten Pati dalam rangkaian peringatan Hari Jadi Tahun 2019, sekiranya perlu dibingkai. Maksudnya, menjadi bagian dari sub kegiatan keseluruhan prosesi kirab yang menjadi agenda utama.
Dengan demikian, semua elemen di lingkungan tata pemerintahan maupun masyarakatnya merasa ikutdilibatkan dalam prosesi hari jadi. Esensi filosofinya, bahwa dalam tata pemerintahan masa lalu jika seseorang punggawa menjadi utusan  untuk hadir dalam sebuah ”pisowanan” agung, menjadi sebuah kebanggaan karena bisa terpilih sebagai duta (utusan), dan namanya pun akan tercantum dalam prasasti tentang ”pisowanan” itu sendiri.
Hal itu tak beda jauh dengan latar belakang sejarah yang menjadi referensi penentuan Hari Jadi Pati, di mana oleh tim penyusunnya mencantumkan bahwa ketika Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Raja Jaya Negara (Raden Kalagemet) sekitar abad XIII (1323-1330) disebut-sebut bahwa Adipati Pati Tombronegoro pernah hadir di Majapahit.
Disebutkan pula bahwa kehadirannya itu ditulis dalam Prasasti Tuhanaru yang dikeluarkan Raja Majapahit yang bergelar Prabu Jayanegara, di Desa Sidateka. Itu kalau membaca sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati Tahun 1994, halaman 48, dan hal tersebut masih bisa diperdebatakan lebih jika dikaitkan dengan  prasati dimaksud.
Terlepas dari semua itu, tujuan dan esensi dari gagasan pelibatan para ”punggawa” desa di Kabupaten Pati dalam kirab proses tersebut sebagai hal baru. Sebab, hanya menjadi sub-bagioan dari agenda yang barang tentu sudah disusun panitia, dan pelaksanaannya juga sudah siap-siap ditenderkan berdasarkan kajian pihak konsultan.
Akan tetapi, untuk menunjang kirab prosesi jika sekiranya dilengkapi dengan sub-bagian dalam bentuk ”pisowanan” para ”punggawa” desa, tentu pihak pemerntahan desa merasa dilibatkan. Sebab, perhelatan itu adalah sebuah peristiwa budaya, di mana bisa saja dalam pisowanan tersebut Sang Adipati (Bupati) memberikan pesan-pesan, wejangan dan arahan kepada mereka.
Karena itu, pisowanan yang pada masa itu berlangsug di pendapa agung kadipaten harus dilakukan secara bergantian. Dalam pisowanan tersebut konsekuensinya harus diikuti dengan rangkaian ”kembulbujana andramina” (makan bersama) dengan aneka lauk  (ikan) hasil dari budidaya daerah sendiri.
Jika mengacu sejarah masa lalu, kalau para abdi dalem kadipaten itu ”marak sowan ngabiantara” kepada Adipatinya, maka rombongan tersebut pasti membawa ”sosok glondong pengarem-arem.” Bentuknya berupa aneka hasil bumi, tapi kalau hal tersebut dilakukan sekarang (pasti) dikatakan sebagai gratifikasi, risikonya pun bisa minimbulkan dampak hukum.
Padahal, ”sosokglondong pengarem-arem” itu merupakan bagian dari ”bulubekti” antara pemimpin dan yang dipimpin. Misalnya, hal itu kembali diaktualisasikan, di mana barang bawaan saat ”sowan” itu dihimpun oleh ”juru boga” panitia, dan pada akhir dari perhelatan tersebut dibagi-bagikan kepada warga kurang mampu, bukankah ini bisa dibudayakan dalam perhelatan yang sama di tahun-tahun selanjutnya?
Sepanjang hal itu dilakukan benar-benar tepat sasaran, dan panitia atau Bupati tidak mengambil sekecil apa pun dari  bentuk ”sosokglondong pengarem-arem” tersebut, tentu tidak ada yang salah. Justru apa yang digagas  tentang ”marak sowan ngabiantara” para ”punggawa” desa itu akan membudaya di kalangan masyarakat Pati. Asal, semua dilakukan dengan tulus dan akal  waras.(Ki Samin) 
Previous post Anggota Komisi D DPRD Pati Endah Sri Wahyuningati Cermati Proses Kirab Prosesi Hari Jadi
Next post

Tinggalkan Balasan

Social profiles