Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (11)

SAMIN-NEWS.COM  KENDATI masuk SD sudah usia 8 tahun (1964) tapi penulis terpaksa tinggal kelas, karena pada usia itu ada anak Kelas I SD tidak bisa nulis, satu di antaranya penulis. Sebab, media yang digunakan untuk menulis kala itu masih berupa batu tulis dengan alat tulis yang namanya ”grip,”  dan tiap pagi sebelum masuk kelas harus diasah dulu agar bagian ujungnya lancip.

Atas kondisi itulah, penulis malas belajar menulis dan jika dipaksa hasilnya pun pembaca bisa menebak sendiri, karena menulis angka lima saja sering terbalik. Akan tetapi, semangat untuk belajar dan berikutnya bisa naik kelas tak pernah pudar, karena ada seiorang guru yang dari sisi usia sudah bisa disebut kakek.

Namanya, Pak Seno, naiknya sepeda unta merk ”simplek” dengan membawa tas kulit model kala itu sebagaimana diekspresikan dalam nyanyian Iwan Fals, Umar Bakri. Di usia 9 tahun masih duduk di bangku Kelas 1 SD, paling senang kalau disuruh menghafal, dan satu lagi waktu itu bukan mata pelajaran menyanyi melainkan  ”nembang.”

Akan tetapi dalam memberikan pelajaran itu tidak hanya sekadar ”nembang,”karena harus diikuti dengan gerak tari. Semisal tembangnya ”menthok-menthok,” semua harus bisa menirukan gerakan itik jenis tersebut. Sampai sekarang masih ada satu tembang yang sangat berkesan, dan jika tidak salah satu tembang dolanan yang dimainkan bersama murid perempuan, sairnya seperti ini.

//Pandu kurcaci kowe arep neng endi// //Lha kok nganggo topi tak sawang katon peni// (pertanyaan murid laki-laki). //Aku arep dolan, dolan neng prapatan// //Nonton keramaian hari kemerdekaan//(jawaban murid perempuan)

Itulah eksplorasi jiwa anak-anak melalui unsur gerak dan lagu  yang terpatri kuat hingga sekarang, sehingga saat sudah duduk di bangku Kelas IV SD, penulis bersama teman-teman yang jumlahnya waktu itu tak lebih dari 15 orang, sudah bernami mendirikan grup gambus. Namanya sandiwara gabus (SW) Gaya Muda, meskipun iringan musiknya hanya seruling dan basnya dari ”kelenthing” (jun).

Mengeksplorasi dan mengekspersikan jiwa kanak-kanak, menjadikan anak-anak merasa terbebas dari ”penjajahan” baik dalam berpikir maupun bertindak oleh pihak lain. Itulah hak paling asasi dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok sosial karena di situlah letak harga sebagai manusia merdeka.

Mungkin pembaca ada yang bertanya, mengapa sebutan pandu diikuti dengan kalimat kurcaci. Menurut KBBI, karena kurcaci itu sebutan untuk pramuka (pandu) kecil perempuan. Sedangkan dalam mitologi ”nordik” kurcaci adalah manusia-manusia kecil dan pendek (kerdil, ahli membuat senjat dari logam, dan tempt tinggalnya digua-gua.

Terlepas dari mitologi tersebut, penulis kembali ingin menuliskan yang berhubungan dengan peringatan Hari Jadi Pati. //Pandu kurcaci kowe arep neng endi//  //Lha kok nganggo topi tak sawang katon peni.// Atas pertanyaan tersebut, pandu kurcaci tersebut menjawab (sesuka-sukanyanya) //Aku arep dolan, dolan neng Kemiri// //Nonton kirab prosesi, prosesi Hari Jadi Pati.”

Ya, pemikiran orang-orang dewasa kita memang selamanya akan menempatkan dan memposisikan anak-anak, cukuplah sebagai penonton. Salam waras….!! (bersambung)

Previous post Revitalisasi Alun-alun Pati Capai 50 Persen
Next post Petugas Pasar Puri Diduga Pungli Parkir Kendaraan

Tinggalkan Balasan

Social profiles