Di balik tembok inilah berdasarkan cerita tutur tentang ”Sumur Gemuling” peninggalan Kembang Joyo, lokasinya di Dukuh Bantengan, Desa/Kecamatan Trangkil (atas). Akar pohon besar, orang menyebutnya pohon maja ”lanang) (tak berbuah), tempat orag sejarang ”ngalap berkah” (bawah).(Foto:SN/aed)
SAMIN-NEWS.COM LARINYA ternyata ke utara dan berhenti di areal tegalan yang terhampar tanaman mentimun. Karena kelelahan setelah menempuh perjalanan hampir setengah atau seperitiga malam sejak meninggalkan Caragsoko, ketiga wanita itu pun tertdur di gubuk yang terdaopat di hamparan tegalan tersebut.
Rayungwulan terbangun karena merasa haus, dan Dalang Soponyono yang setia menjaganya di luar gubuk menyambutnya. Karena rasa hausnya sudah tak tertahan, putri Adipati itu menyampaikan keinginannya untuk minum, hanya tidak ada air tapi dalang itu pun tanggap setelah melihat ada sebuah sumur di ladang timun itu.
Namun ketika dilihat sumur tersebut meskipun di musim kemarau, airnya masih cukup hanya saja tidak tersedia timba untuk mengambilnya. Lagi-lagi, dalang itu harus menggunakan ”kelebihannya”, maka sumur pun didorong sampai posisi miring hampir terguling tapi tidak sampai rata dengan permukaan tanah sehingga airnya mudah diambil.
Masih dalam cerita tutur, sumur di tengah areal tegalan itu disebut sebagai ”sumur gemuling”, dan sampai sekarang lokasinya hanya beberapa meter dari jalan raya Pati-Tayu, atau berbatasan tembok sebelah kanan Puskesmas Trangkil. Di lokasi tersebut terdapat bangunan tempat orang-orang berkumpul yang mempunyai berbagai kepentingan, utamanya untuk ”ngalap berkah.”
Inilah kondisi di lokasi ”Sumur Gemuling”, di Dukuh Bantengan, Desa/Kecamatan Tranhgkil, Pati.(Foto:SN/aed)
Bagaimana dengan kondisi di Kadipaten Carangsoko dalam ”pahargian” ”pengantin wurung?” Sudah pasti, Adipati Paranggaruda Yudhapati bersama punggawa setianya, Wedana Yuyu Rumpung” marah besar merasa harga diri dan kehormatannya diinjak-injak di Carangsoko. Karena itu kemarahannya pun dilampiaskan dalam banyak bentuk.
Apalagi, putranya Josari ribut menanyakan istrinya yang hilang, maka hal itu membuat para pengikut Paranggaruda membuat keributan. Juga dituturkan, sampai pada puncak kemarahannya Adipati Yudhapati harus merobohkan panggung tempat berlangsungnya pertunjukan wayang, sehingga atas peristiwa tersebut dijadikan ”tetenger” nama sebuah desa, yaitu Panggungroyom yang kala itu barang kali bagian dari lingkungan Kadipaten Carangsoko.
Sementara itu, kelir (gunungan) yang digunakan Dalang Soponyono untuk memadamkan lampu ”blencong” entah oleh Wedana Yuyurumpung atau Adipati Yudhapati juga ditendang sekuat-kuatnya. Tempat jatuhnya kelir tersebut sampai sekarang dikenal sebagai ”sawah sak kelir”, dan adanya di Desa Panggungroyom.
Jika merunut dan mencermati cerita tutur yang sudah barangtentu mampu menanamkan ingatan warga berabad-abad hingga sekarang, tentu menjadi bagian dari budaya masyarakat yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Hal itu sama saja, jika Pati benar-benar ingin membumikan sebuah peringatan Hari Jadi sebagai peristiwa budaya yang bisa melekat di hati masyarakat sepanjang masa.(bersambung)