Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati;; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (19)

Di tempat ini, di Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Pati, pernah hidup seorang tokoh ”Pengadil” kondang, Ki Singopadu.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  KABAR matinya Sondong Majeruk, tentu membuat geger baik warga ”Wetan Kali” (Kemaguan) maupun ”Kulon Kali” (Majasemi), lebih-lebih para kelompok bromocorah. Orang yang paling berkepentingan dalam peristiwa tersebut sudah pasti, Wedana Yuyu Rumpung karena sondong ini merupakan bahu kanannya yagsudah barang tentu sebagai orang kepercayaannya.
Karena itu, tuduhan langsung siapa pelaku pembunuhan tersebut pasti orang dari ”Kulon Kali”, karena wedana itu memang tahu latar belakang peristiwa di balik matinya Sondong Majeruk Yakni, pencurian pusaka ”piandel” Majasemi, maka ancamannya cukup keras keras, siapa pun pelakunya hutang pati harus dibayar pati.
Jika tidak ada yang mau mengakui sebagai pembunuhnya, maka Majasemi akan dibuat ”karang abang”, sehingga rakyat pun ketakutan dan merasa terancam. Kemarahan Yuyurumpung pun segera tersebar ke mana-mana, sehingga ”Juru Pengadil” Ki Singopadu merasa perlu segera turun tangan, agar tidak terjadi saling main hakim sendiri di antara orang yang saling mencurigai.
Akhirnya kedua pihak penguasa Majaseki dan Kemaguan pun dikumpulkan untuk hadir dalam persidangan berdasarkan fakta di tempat kejadian. Yakni, tempat di mana ditemukannya jenazah Sondong Majeruk, dan apa pun putusan pengadil harus diterima secara mutlak oleh masing-masing pihak tertuduh maupun penuduh.
Salah satu peninggalan Ki Singopadu yang masih tersisa hingga sekarang, adalah sebuah keramik berupa kuali besar untuk usahanya sebagai tukang ”wedel” (mencelup) pakaian yang sudah kusam dengan warna khusus, hitam.(Foto:SN/aed)

Kendati hukium itu sebuah fakta, tapi juru pengadil harus lebih mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Sehingga dalam persidangan tersebut, dalam cerita tutur pun disebutkan ”Juru Pengadil” dengan kekuatan alam bawah sadar menggunakan cara, yaitu jenazah sondong itu harus diposisikan untuk bisa berdiri tegak, dan hal itu diprotes keras Yuyurumpung.
Alasannya, tidak mungkin dan tidak masuk akal orang yang sudah kaku meninggal bisa berdiri tegak, jika tanpa dibantu orang yang masih hidup, tapi itu pun bukan hal mudah. Atas sanggahan itu, ”Sang Pengadil” pun dengan wibawanya menegaskan, bagi yang tidak setuju dengan cara persidangan seperti ini, kiranya patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan itu sendiri.
Atau paling tidak mempunyai andil kepentingan di balik peristiwa kematian tersebut, hal itu patut diduga, jangan-jangan ini hanya akal bulusnya untuk mengkelabuhi orang lain, alias memberikan lesaksian palsu. Apa yang diungkapkan ”Sang Pangadil”, Ki Singppadu itu tampaknya langsung menohok ke pokok persoalan.
Karena itu pengadilan atas kematian sondong itu dilakukan dengan cara jenazah korban harus diposisikan bisa berdiri tegak, tanpa bantuan siapa pun. Waktunya harus disepakati oleh seluruh yang hadir, dan jika jenazah itu roboh dalam waktu yang di sepakati maka robohnya ke arah mana, itulah yang akan membuktikan siapa dan orang asal mana pembunuhnya.
Maksudnya, jika jenazah roboh ke barat berarti pelaku pembunuhan adalah orang dari ”Kulon Kali,” yaitu orang Majasemi. Sebaliknya, jika jenazah roboh ke timur, pembunuhnya berarti orang ”Wetan Kali”, Kemaguan, dan itu harus dilakukan sampai tiga kali berturut-turut, ternyata fakta hukum membuktikan setelah tiga kali jenazah diposisikan robohnya selalu ke timur.
Itulah kekalahan Wedana Kemaguan atas kekuatan Majasemi, dan juga ”kehebatan” Sang Pengadil, Ki Singopadu (bersambung)
Previous post Mencermati Sedekah Bumi di Kompleks LI
Next post Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tuisan (20)

Tinggalkan Balasan

Social profiles