Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (28)

Bumi ”sangar” di Ngagul, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Pati, jika ditanami sesuatu termasuk pohon sengon tak pernah menghasilkan yang maksimal, dan saat dibuat petak empang ikan nila ikan tersebut juga tidak bisa besar.(Foto:SN/aed)


SAMIN-NEWS.COM  BUMI sepetak di Ngangul Desa Muktiharjo. Kecamatan Margorejo, Pati, selama ini tidak banyak yang mengetahui asal-usulnya. Ternyata bumi ”sangar” yang terletak di belakang pabrik es tersebut konon merupakan bekas lokasi pande khusus saat Empu Suwarno harus membuat Keris ”Budeg” Pati, sehingga sampai searang lokasi itu juga masih sangar.
Sebab, ditanami apa saja termasuk kayu-kayuan jenis sengon juga tak pernah bisa tumbuh besar, dan terakhir ada upaya warga yang menyewanya dari sesorang di lingkungan itu mencoba  untuk membuat empang di petak lahan itu. Kendati hampir dua tahun empang ditebari ikan nila, tapi sampai sekarang ikan-ikan tersebut tidak bisa tumbuh besar.
Selesai membantu Adipati Kembang Joyo dalam memadamkan makarnya Empu Sumali, Empu Suwarno bersama istrinya Nyi Santi, dan putranya Joko Ganjur, kembali ke kediamannya hidup sebagaimana hari-hari biasa sebelumnya. Kendati diminta tinggal di kadipaten, Suwarno tetap memilih kembali menekuni pekerjaannya sebagai tukang pande besi.
Sementara itu, situasi pemerintahan Kadipaten Pati di bawah Kembang Joyo dan patihnya Soponyono kembali normal. Warga pun kembali berupaya untuk memenuhi kebutuhannya dengan mengandalkan bercocok tanam, sehingga upaya peningkatan produksi khususnya penyediaan sarana irigasi sehingga pada musim kemarau kesulitan air pun bisa dihindari.
Sampai pada akhirnya atau beberapa tahun kemudian, Kembang Joyo bermaksud membangun fasilitas sarana jalan dari Pati menuju ke Muria. Secara kebetulan pula, lokasi akses jalan tersebut melewati wilayah yang selama ini menjadi kekuasaan Empu Suwarno, tapi sang adipati tidak pernah mengajak yang bersangkutan untuk berembug bagaimana baiknya.
Dengan kata lain, Adipati Kembang Joyo berkeputusan, bahwa lahan yang dibutuhkan untuk pembuatan akses jalan itu tetap merupakan kukuasaan wilayah kadipaten. Karena itu siapa saja yang menguasai lahan tersebut harus melepaskannya demi tercapainya rencana pembuatan jalan menuju ke Muria yang sampai sekarang merupakan jalan utama dari Pati ke Muria melalui Gembong.
Akibatnya, kesalahpahaman antara penanggung jawab pembangunan jalan yang di lapangan harus bersitegang dengan Empu Suwarno. Karena terus menerus di bawah tekanan, orang yang pernah berjasa menjadi tumbal tegaknya kewibawaan pemerintah Kadipaten Pati, terpaksa memlih menunjukkan sikap melawan.
Sikap perlawanan Empu Suwarno itulah yang dianggap para pungguwa kadipaten sebagai ”agul-agul”-nya yang bersangkutan. Karena itu, lahan yang tidak begitu luas di sepanjang pinggir jalan tersebut menjadi perkampungan maupun dukuh perdikan bernama ”Ngagul” hingga swkarang, hal itu berkat kebijakan Adipati Kembang Joyo.
Kebijakan itu, selain sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang pernah berjasa terhadap tegaknya kewibawaan pemerintah Kadipaten Pati Pesantenan juga merupakan penghargaan meskipun yang bersangkutan tidak pernah mau menerima imbalan jasa apa pun. Akhirnya, Adipati Kembang Joyo harus menggeser rencana lokasi lahan untuk jalan ke Muria tidak lagi menyentuh secuil pun bumi Ngagul, milik Empu Suwarno (bersambung)
Previous post Eddy Siswanto Paparkan Salah Satu Murid Sunan Kudus dari Etnis Tionghoa
Next post Selamat Hari Jadi ”Kota Karaoke”

Tinggalkan Balasan

Social profiles