Membumikan Peringatan Hari Jadi Pati; Sebuah Catatan dari Beberapa Tulisan (6)

SAMIN-NEWS.COM  SEMENTARA ITU apa yang digagas anggota Komisi D DPRD Pati yang lain, Endah Sri Wahyuningati, sebenarnya juga cukup bagus karena juga sama-sama refleksi peradaban tempo dulu, tapi diaktualisasikan dengan kondisi sekarang. Hanya masalahnya, hal itu sulit dilaksanakan jika tidak menjadi agenda resmi panitia, karena berkait langsung dengan peran dan kedudukan Bupati.

Jika ”tempo doloe” sebutan Bupati, jelas Adipati sebagai junjungan para kawula di tingkat pemerintahan kadipaten yang harus tuduk di bawah kekuasaan kerajaan. Hanya pada masa pemerintahan Adipati Wasis Joyokusumo, Pati tidak pernah tunduk pada kekuasaan kerajaan mana pun (masalah ini bisa kita kupas pada bagian lain-Red).

Kembali pada Adipati sebagai junjungan para kawula, seperti biasa para ”bekel” (setingkat) kepala desa bersama para ”punggawanya” pasti ada jadwal ”tinambalan marak sowan ngabiantara ing ngarsa Kanjeng Adipati”. Tampaknya itulah yang digagas anggota Komisi D yang bersangkutan, dalam konteks membangun komunikasi  komunikasi antara bawahan dan atasan.

Dalam hal ini, semua bentuk ”unggah-ungguh,” dan tata krama para punggawa desa atas junjungannya itu tidaklah pernah luntur, termasuk kesetiaannya. Akan tetapi penulis tidak bermaksud melakukan pembenaran atas kekuasaan model feodal tersebut, melainkan hanya  semata-mata mengaktualisasikan  tradisi ”sowan ngabiantara” tersebut pada masa sekarang.

Apalagi jika hal itu bisa dikemas dalam bagian prosesi hari jadi, jelas dari sisi peradaban budaya masa sekarang menjadi hal menarik. Sebab, sowannya para petinggi/kepala desa bersama para punggawanya, bisa dilakukan H -7 sebelum pelaksanaan hajat akbar memperingati hari jadi, dan dijadwalkan tiap hari mulai jam berapa sampai jam berapa, termasuk pada malam harinya.

Untuk proses pelaksanaannya secara teknis bisa dijadwalkan per kecamatan secara bergantian, dan saat pisowanan di pendapa Bupati sebagai sesempabahannya para kawula yang diwakili para kepala desa dan pengguwanya menyampaikan catatan permasalahan di setiap desa yang belum tuntas maupun sebaliknya. Selesai itu, turun dari pendapa diberikan kesemoatan untuk menikmati hidangan makanan yang tersaji.

Namun lagi-lagi ada konteks lain dalam mengimplementasikan peradaban masa lalu tersebut, yaitu kebiasaan dalam ”sowan ngabiantara” memang harus diikuti dengan membawa ”sosokglondong pengarem-arem” berupa ”paweton” bumi, seperti beras, gula kelapa, buah-buahan, palawija, dan yang lain, termasik hasil ternak ayam, bebek, dan bisa saja kambing.

Oleh panitia, ”sosokglondong pengarem-arem tersebut tidak untuk ”pesta” mereka, melainkan harus disalurkan ke panti-panti, utamanya ke panti yang memelihara anak yatim-piatu. Dengan penyaluran hasil ”sosokglondong pengaream-arem” tersebut paling tidak mendapat pembagian beras, lengkap untuk lauku pauknya dari ayam maupun bebek yang dipotong sendiri.

Hal itu sebenarnya bukan sesutu yang baru, karena yang baru adalah inovasi pemkiirannya untuk membumikan peringatan hari jadi. Mengapa tidak dicoba?(bersambung)

Previous post Normalisasi Kali Juwana, Kapan Tuntasnya?
Next post Sopir-sopir Truk ”Lucu” Saat Melaju di Jalanan Sebabkan Tabrakan Beruntun

Tinggalkan Balasan

Social profiles